Perkotaan seringkali menjadi
inspirasi utama seniman dalam berkarya. Kota, di satu sisi merupakan muara dari
harapan manusia untuk memperbaiki kondisi ekonominya dan sekaligus
juga menjadi tempat bersarangnya kriminalitas. Kompleksitas kota
tentunya akan selalu menarik untuk dibahas dalam suatu karya seni. Bisa
dibilang, menceritakan kota berarti menceritakan tentang manusia.
Sudah banyak karya-karya seni
semacam lukisan, puisi, sastra, film dan musik yang terinspirasi dari problem perkotaan.
Sampai kapan pun, fenomena ini tidak akan pernah hilang. Selain cinta, kota
akan terus menjadi stimulus inspirasi utama untuk dituangkan
dalam karya-karya seorang seniman, khususnya bagi musisi.
Dekade 2010 baru saja kita
tinggalkan. Namun ingatan tentang musik-musik yang lahir pada dekade tersebut
masih melekat. Terlebih bagi album-album dengan konsep matang yang mampu
mendeskripsikan suatu ide dengan baik, terutama tentang kota. Berikut ini adalah
dua album yang mampu menarasikan tentang kehidupan kota dengan baik, yang lahir
pada dekade 2010-an. Dua album yang menggambarkan fenomena dua kota besar di
pulau Jawa yaitu Jakarta dan Surabaya.
Bangkutaman - Ode Buat Kota (Jangan
Marah Records/Demajors 2010)
Salah satu karya musik yang patut
disimak yang berhasil menarasikan isu perkotaan di Indonesia adalah album “Ode
Buat Kota” karya Bangkutaman. Album ini lahir pada awal dekade 2010-an dan
menebar pengaruhnya selama sepuluh tahun setelahnya.
Album yang dirilis di bawah naungan
Jangan Marah Records pada tahun 2010 ini berhasil menjadi album terbaik di
tahunnya. Selain itu, “Ode Buat Kota” juga menjelma menjadi representasi
holistik atas fenomena di Indonesia, khususnya masalah hiruk pikik ibukota.
Mendengarkan album “Ode Buat Kota”, kita akan disuguhkan sound ala
The Byrds atau band-band naugan Sarah Records yang pernah berjaya pada tahun
80-90-an.
Seperti diketahui, Bangkutaman
tergolong band senior dengan pengaruh The Velvet Underground, The Mamas and The
Papas, The Corals, Paul Williams dan The Rhythm Kings, yang dibentuk pada tahun
1999 dan diperkuat oleh trio Wahyu Nugroho (vokal, bas), J. Irwin Ardy (gitar)
dan Dedyk Eryanto (drum). Sedangkan “Ode Buat Kota” merupakan karya terbaik
Bangkutaman di sepanjang karirnya, yang sekaligus menjadi penerus semangat para
legenda musik Indonesia seperti Benyamin Sueb, Slank dan Iwan Fals dalam
menyuarakan fenomena sosial di masyarakat.
Hebatnya album ini, Bangkutaman juga
mampu menceritakan kompleksitas kota sampai ke perasaan warga kelas menengahnya
dengan gaya khasnya sendiri. Jika diibaratkan manusia, album ini seperti
seorang wartawan yang bekerja di area megapolitan atau metropolitan yang
liputannya dari menyusuri daerah kumuh sampai kawasan elit sembari mengejar
peristiwa. Intelek bak kritikus atau pengamat tata kota, sekaligus mudah
dicerna seperti bahasa pedagang pasar. Tak heran jika, founder Elevation
Records – label yang merilis ulang “Ode Buat Kota” ke dalam format vinyl 12”
pada tahun 2015, Taufiq Rahman, mengatakan bahwa “Ode Buat Kota” adalah salah
satu album social commentary yang sangat berhasil. Tentu saja,
kekuatan utama mereka pada lirik bertema sosial perihal kerasnya ibukota dengan
balutan musik folk/rock n roll. Saat dirilis ulang pada tahun 2015,
vinyl 12” “Ode Buat Kota” juga diserahkan ke pemerintah DKI Jakarta secara
simbolis di Balaikota.
Nuansa getir album “Ode Buat Kota”
ini mengingatkan pada puisi Kahlil Gibran yang berjudul “Kota”, berikut
petikannya:
Wahai, para penduduk kota yang
mengerikan, yang hidup di dalam kegelapan,
yang mendorong pada kesengsaraan,
mengkhotbahkan dusta,
dan berbicara dengan ketololan…
sampai kapankah kalian akan tetap
dalam kebodohan? Sampai kapan kalian akan tinggal dalam tumpukan
sampah kehidupan dan terus meninggalkan taman-tamannya?
Beberapa lagu kunci pada album ini
seperti track berjudul “Ode Buat Kota” yang bernuansa riang
dengan riuh tepuk tangan dan koor “Na na na na..” seperti
sedang merayakan Jakarta beserta segala isinya. Vice Indonesia pun memasukkan
lagu “Ode Buat Kota” menjadi salah satu lagu terbaik pada dekade 2010-an. Vice
Indonesia menyebut: “Lagu ini karenanya, sukses menjadi anthem terbaik kelas
pekerja, perantau, atau keduanya.”
Simak pada penggalan liriknya yang
sangat merepresentasikan kontur kumuh Jakarta:
"Di sinilah aku dibesarkan
Di hamparan sungai yang kian hitam
Di ujung jalan sempit yang terus
tergenang
Di bawah jembatan kubernyanyi
riang"
Jangan dilupakan bahwa lagu ini juga
menampilkan konsep video klip yang menarik, dengan memperlihatkan wajah
sudut-sudut Jakarta yang biasanya ramai dan padat, kini menjadi sangat sepi
serta tenang. Video klip juga dilengkapi dengan running text yang
berisi data/data statistik/fakta menarik tentang Jakarta. Ini merupakan salah
satu video klip paling ikonik sepanjang dekade 2010-an. Konon, video klip serba
sepi “Ode Buat Kota” ini diambil bertepatan dengan pelaksanaan Solat Ied Idul
Fitri, dan sukses menciptakan kesan bahwa Jakarta ternyata tidak sesemrawut
yang dibayangkan, jika kondisinya sepi. Justru wilayah yang biasanya kumuh dan
padat pun menjadi terlihat tak kalah bagus dengan Orchard Road, Singapura.
Selanjutnya pada lagu “Coffee
People” bercerita soal kehidupan jurnalis. Di awali dengan aktivitas menyalakan
radio tengah malam dan kemudian penyiar radio menarasikan tentang kondisi
pewarta lapangan yang pekerjaaanya sangat beresiko. Sedangkan lagu “Train Song”
memotret kehidupan urban yang sangat melelahkan, pulang kantor tengah malam
dengan waktu yang banyak dihabiskan di jalanan. Kita baru saja istirahat dan
kemudian terbangun kembali untuk bekerja, begitu seterusnya seumur hidup.
Jika ternyata nantinya beberapa
tahun ke depan Ibukota negara jadi pindah ke Kalimantan, “Ode Buat Kota” akan
menjadi album nostalgia yang akan terus diingat. Segala keluh kesah kehidupan
urban pernah termaktub dan diceritakan dengan baik di album ini.
Silampukau – Kota, Dosa dan Kenangan
(Moso’iki Records, 2015)
Dosa, Kota & Kenangan adalah
album yang berhasil menceritakan kota Surabaya dengan sangat baik. Album folk ini
menampilkan musik sendu, kontemplatif dan kadang humoris dengan pilihan nada
penuh candu. Dosa, Kota & Kenangan dirilis pada tahun 2015 di bawah naungan
Moso’iki Records dan telah membawa angin segar pada musik Indonesia kala itu,
mulai dari tema yang diangkat seputar permasalahan sosial sampai ke sudut gelap
sebuah kota.
Berbagai sudut Kota Surabaya
diceritakan dengan menarik melalui alunan gitar, akordeon, piano dan alat musik
tiup oleh duo Kharis Junandharu (vokal/gitar) dan Eki Tresnowening
(vokal/gitar) ini. Hasilnya, album yang sangat lekat dan kohesif antara tema,
lirik dan nada menjadi satu kesatuan yang solid. Seakan kita diajak
berwisata malam hari di Kota Surabaya, yang memuaskan dalam aspek libido dan
tentunya kenangan di sekitarnya. Gang Dolly yang legendaris pun dideskripsikan
pada lagu “Si Pelanggan”. Berikut kutipan liriknya:
“Dolly
Yang menyala-nyala di puncak kota
Yang sembunyi di sudut jalang jiwa
Pria Surabaya
Dulu
Di temaram jambon gang sempit itu
Aku mursal masuk, keluar, dan utuh
Sebagai lelaki”
Kritik sosial dan untaian
permasalahan di album ini juga terdengar lebih matang, dengan gaung yang lebih
mudah diterima serta mudah dipahami. Jangan lupakan juga rima indahnya yang
dibangun dari tata bahasa Indonesia yang baik pula. Sepuluh lagu bergaya folk/world/country di
dalamnya ini ternyata lebih beringas dan punya daya patri di kepala yang kuat.
Lagu-lagu kompleksitas kehidupan ‘dewasa’ semacam “Si Pelanggan” dan “Lagu
Rantau (Sambat Omah)” jangan sampai terlewat. Serta juga lagu tentang kemacetan
di Surabaya dalam “Malam Jatuh di Surabaya”. Tentu ini merupakan album terbaik
tentang Surabaya beserta segala dinamika di dalamnya.
-Therockjournals X
Belantara22 Records-