Sabtu, 22 Februari 2020

Album Tentang Kota Terbaik Dekade 2010-an



Perkotaan seringkali menjadi inspirasi utama seniman dalam berkarya. Kota, di satu sisi merupakan muara dari harapan manusia untuk memperbaiki kondisi ekonominya dan sekaligus juga  menjadi tempat bersarangnya kriminalitas. Kompleksitas kota tentunya akan selalu menarik untuk dibahas dalam suatu karya seni. Bisa dibilang, menceritakan kota berarti menceritakan tentang manusia.

Sudah banyak karya-karya seni semacam lukisan, puisi, sastra, film dan musik yang terinspirasi dari problem perkotaan. Sampai kapan pun, fenomena ini tidak akan pernah hilang. Selain cinta, kota akan terus menjadi stimulus inspirasi utama untuk dituangkan dalam karya-karya seorang seniman, khususnya bagi musisi.

Dekade 2010 baru saja kita tinggalkan. Namun ingatan tentang musik-musik yang lahir pada dekade tersebut masih melekat. Terlebih bagi album-album dengan konsep matang yang mampu mendeskripsikan suatu ide dengan baik, terutama tentang kota. Berikut ini adalah dua album yang mampu menarasikan tentang kehidupan kota dengan baik, yang lahir pada dekade 2010-an. Dua album yang menggambarkan fenomena dua kota besar di pulau Jawa yaitu Jakarta dan Surabaya.

Bangkutaman - Ode Buat Kota (Jangan Marah Records/Demajors 2010)
Salah satu karya musik yang patut disimak yang berhasil menarasikan isu perkotaan di Indonesia adalah album “Ode Buat Kota” karya Bangkutaman. Album ini lahir pada awal dekade 2010-an dan menebar pengaruhnya selama sepuluh tahun setelahnya.
Album yang dirilis di bawah naungan Jangan Marah Records pada tahun 2010 ini berhasil menjadi album terbaik di tahunnya. Selain itu, “Ode Buat Kota” juga menjelma menjadi representasi holistik atas fenomena di Indonesia, khususnya masalah hiruk pikik ibukota. Mendengarkan album “Ode Buat Kota”, kita akan disuguhkan sound ala The Byrds atau band-band naugan Sarah Records yang pernah berjaya pada tahun 80-90-an.

Seperti diketahui, Bangkutaman tergolong band senior dengan pengaruh The Velvet Underground, The Mamas and The Papas, The Corals, Paul Williams dan The Rhythm Kings, yang dibentuk pada tahun 1999 dan diperkuat oleh trio Wahyu Nugroho (vokal, bas), J. Irwin Ardy (gitar) dan Dedyk Eryanto (drum). Sedangkan “Ode Buat Kota” merupakan karya terbaik Bangkutaman di sepanjang karirnya, yang sekaligus menjadi penerus semangat para legenda musik Indonesia seperti Benyamin Sueb, Slank dan Iwan Fals dalam menyuarakan fenomena sosial di masyarakat.

Hebatnya album ini, Bangkutaman juga mampu menceritakan kompleksitas kota sampai ke perasaan warga kelas menengahnya dengan gaya khasnya sendiri. Jika diibaratkan manusia, album ini seperti seorang wartawan yang bekerja di area megapolitan atau metropolitan yang liputannya dari menyusuri daerah kumuh sampai kawasan elit sembari mengejar peristiwa. Intelek bak kritikus atau pengamat tata kota, sekaligus mudah dicerna seperti bahasa pedagang pasar. Tak heran jika, founder Elevation Records – label yang merilis ulang “Ode Buat Kota” ke dalam format vinyl 12” pada tahun 2015, Taufiq Rahman, mengatakan bahwa “Ode Buat Kota” adalah salah satu album social commentary yang sangat berhasil. Tentu saja, kekuatan utama mereka pada lirik bertema sosial perihal kerasnya ibukota dengan balutan musik folk/rock n roll. Saat dirilis ulang pada tahun 2015, vinyl 12” “Ode Buat Kota” juga diserahkan ke pemerintah DKI Jakarta secara simbolis di Balaikota.
Nuansa getir album “Ode Buat Kota” ini mengingatkan pada puisi Kahlil Gibran yang berjudul “Kota”, berikut petikannya:
Wahai, para penduduk kota yang mengerikan, yang hidup di dalam kegelapan,
yang mendorong pada kesengsaraan, mengkhotbahkan dusta,
dan berbicara dengan ketololan…
sampai kapankah kalian akan tetap dalam kebodohan? Sampai kapan kalian akan  tinggal dalam tumpukan sampah kehidupan dan terus meninggalkan taman-tamannya?

Beberapa lagu kunci pada album ini seperti track berjudul “Ode Buat Kota” yang bernuansa riang dengan riuh tepuk tangan dan koor “Na na na na..” seperti sedang merayakan Jakarta beserta segala isinya. Vice Indonesia pun memasukkan lagu “Ode Buat Kota” menjadi salah satu lagu terbaik pada dekade 2010-an. Vice Indonesia menyebut: “Lagu ini karenanya, sukses menjadi anthem terbaik kelas pekerja, perantau, atau keduanya.
Simak pada penggalan liriknya yang sangat merepresentasikan kontur kumuh Jakarta:
"Di sinilah aku dibesarkan
Di hamparan sungai yang kian hitam
Di ujung jalan sempit yang terus tergenang
Di bawah jembatan kubernyanyi riang"

Jangan dilupakan bahwa lagu ini juga menampilkan konsep video klip yang menarik, dengan memperlihatkan wajah sudut-sudut Jakarta yang biasanya ramai dan padat, kini menjadi sangat sepi serta tenang. Video klip juga dilengkapi dengan running text yang berisi data/data statistik/fakta menarik tentang Jakarta. Ini merupakan salah satu video klip paling ikonik sepanjang dekade 2010-an. Konon, video klip serba sepi “Ode Buat Kota” ini diambil bertepatan dengan pelaksanaan Solat Ied Idul Fitri, dan sukses menciptakan kesan bahwa Jakarta ternyata tidak sesemrawut yang dibayangkan, jika kondisinya sepi. Justru wilayah yang biasanya kumuh dan padat pun menjadi terlihat tak kalah bagus dengan Orchard Road, Singapura.

Selanjutnya pada lagu “Coffee People” bercerita soal kehidupan jurnalis. Di awali dengan aktivitas menyalakan radio tengah malam dan kemudian penyiar radio menarasikan tentang kondisi pewarta lapangan yang pekerjaaanya sangat beresiko. Sedangkan lagu “Train Song” memotret kehidupan urban yang sangat melelahkan, pulang kantor tengah malam dengan waktu yang banyak dihabiskan di jalanan. Kita baru saja istirahat dan kemudian terbangun kembali untuk bekerja, begitu seterusnya seumur hidup.

Jika ternyata nantinya beberapa tahun ke depan Ibukota negara jadi pindah ke Kalimantan, “Ode Buat Kota” akan menjadi album nostalgia yang akan terus diingat. Segala keluh kesah kehidupan urban pernah termaktub dan diceritakan dengan baik di album ini.

Silampukau – Kota, Dosa dan Kenangan (Moso’iki Records, 2015)
Dosa, Kota & Kenangan adalah album yang berhasil menceritakan kota Surabaya dengan sangat baik. Album folk ini menampilkan musik sendu, kontemplatif dan kadang humoris dengan pilihan nada penuh candu. Dosa, Kota & Kenangan dirilis pada tahun 2015 di bawah naungan Moso’iki Records dan telah membawa angin segar pada musik Indonesia kala itu, mulai dari tema yang diangkat seputar permasalahan sosial sampai ke sudut gelap sebuah kota.

Berbagai sudut Kota Surabaya diceritakan dengan menarik melalui alunan gitar, akordeon, piano dan alat musik tiup oleh duo Kharis Junandharu (vokal/gitar) dan Eki Tresnowening (vokal/gitar) ini. Hasilnya, album yang sangat lekat dan kohesif antara tema, lirik dan nada menjadi satu kesatuan yang solid. Seakan kita diajak berwisata malam hari di Kota Surabaya, yang memuaskan dalam aspek libido dan tentunya kenangan di sekitarnya. Gang Dolly yang legendaris pun dideskripsikan pada lagu “Si Pelanggan”. Berikut kutipan liriknya:
Dolly
Yang menyala-nyala di puncak kota
Yang sembunyi di sudut jalang jiwa
Pria Surabaya
Dulu
Di temaram jambon gang sempit itu
Aku mursal masuk, keluar, dan utuh
Sebagai lelaki

Kritik sosial dan untaian permasalahan di album ini juga terdengar lebih matang, dengan gaung yang lebih mudah diterima serta mudah dipahami. Jangan lupakan juga rima indahnya yang dibangun dari tata bahasa Indonesia yang baik pula. Sepuluh lagu bergaya folk/world/country di dalamnya ini ternyata lebih beringas dan punya daya patri di kepala yang kuat. Lagu-lagu kompleksitas kehidupan ‘dewasa’ semacam “Si Pelanggan” dan “Lagu Rantau (Sambat Omah)” jangan sampai terlewat. Serta juga lagu tentang kemacetan di Surabaya dalam “Malam Jatuh di Surabaya”. Tentu ini merupakan album terbaik tentang Surabaya beserta segala dinamika di dalamnya.

-Therockjournals X Belantara22 Records-