Jumat, 01 November 2013

Mukadimah Parsial

(((((bergabunglah dengan kami, karena cuma kami yang tidak oportunis..mari kita ciptakan masyarakat yang tidak menjadi budak logika))))). ya gimana yak, cuma pengen bikin paguyuban aja sih..ga ada alasan tertentu ato pengen bikin sensasi..tenang aja, kami ga seoportunis itu kok. perang wacana sih boleh-boleh saja, kalo mau diem saja ato progresif juga ga ada yang ngelarang..untuk kemajuan bangsa? paling juga oportunis..
Sebagai agen perubahan ato cuma memberikan sensasi kejut kepada masyarakat, udahlah..ga semuanya yang lo kritik dan konsepin itu cocok disini. katanya pemikiran dan aksinya sangat canggih dan kontekstual, tapi saling ngotot-ngototan..ya sama aja pake paradigma purba dalam adu argumen.. kalo canggih mah menerima apa yang orisinil dan gagasan baru..bukan dari yang lawas lalu dipaksakan dikontekskan..ga semuanya bisa disini.
Franz Magnis pernah ambil sari dari "Law of Three Stages" milik Comte. Apakah kesimpulannya?. Manusia rasional sepenuhnya adalah manusia ilmiah yang bebas dari mitos, agama, ataupun metafisika. Hampir seluruh dari kita adalah penganut irasionalitas. Apa salahnya bergabung dan mengamati dengan tenang?. Kita adalah orang-orang yang tidak oportunis. Salam irasional!
Kita butuh sesuatu yang orisinal, bukan adopsi tatatiti dari benua seberang yang dipaksakan dikontekstualisasikan..keyakinan dalam diri. ketidaksenangan publik tidak perlu dicari. atensi untuk bergerak kenapa harus dipaksa. semua sudah berjalan seperti apa adanya. perusaknya adalah kemauan untuk beda. anda semua punya kepentingan, tak bisa dapatkan semua apa yg anda inginkan. kenapa takut untuk diam?. ketidaktahuan cuma alasan sombong yang anda keluarkan karena mereka yg tidak tahu itu beda dari anda. salam irasional!
Pagi rekan sekalian. masih suka diam dan merenung atau tetap kerja keras mencari status sosial? tidak akan ada habisnya hehehe. hari ini ada yang mau aksi sama buruh ada yg mau aksi kesehatan. keinginan begitu banyak tapi semuanya semu kawan. kita selalu mengejar hal yg didogma oleh orang. padahal itu bukan permintaan kita. kerumunan fanatik membuat tolol. gagal membentuk gagasan orisinal dari kompleksnya pemikiran adalah bukti bahwa kita semua cuma pakai kacamata kuda. orang menolak diam padahal itu adalah awalan. lucu. lucu. lucu.
Selamat pagi salam irasional! butuh lilin dan kopi lebih banyak untuk renungan panjang malam ini salam irasional!. kenapa tiap buruh 'ideologis' harus hapal Internationale? lagu itu enak dan menjual. apakah punk atau rock bentuk perlawanan? omong kosong, itu semua bentuk adaptasi baru untuk memeroleh keuntungan. kita adalah korban ekspansi ideologi, materi dan logika...yang tidak tercatat oleh sejarah dan tidak pernah dikaji hanya akan menjadi bualan. mereka yang tidak pernah tercatat bagi kalian hanyalah sebuah koloni jamur yang lantas mati tapa guna...mereka hidup, tanpa keinginan lebih. bungkam segala logika dan rasionalitas untuk menelisik yang tidak terlihat..pahamilah, keuntungan hanya menjadi lingkaran benzena saja..
Salam irasional!


Paguyuban Irasional atau Parsial memang terbentuk pada bulan September 2013 ini karena kesadaran akan pentingnya gagasan baru yang dituangkan dalam bentuk perkumpulan. Paguyuban ini saat itu resmi didirakan pada bulan Oktober 2013 oleh pengagasnya adalah Mr. D dan Mr. T. Secara gagasan dan perkumpulan, kita saling memberikan masukan akan ide dan konsep perkumpulan tersebut. Kita terbentuk karena kejenuhan terhadap lembaga yang oportunis yang meneriakkan atas pembebasan namun niatnya bukan itu. Kita hanya menginginkan manusia yang berkumpul namun tidak memiliki ikatan yang oportunis. Kita hanya ingin manusia-manusia yang secara sadar ingin berkumpul dan bukan guna untuk mendapatkan keuntungan belaka. Namun sebisa mungkin, kami akan fasilitasi seluruh anggota dari Parsial ini dan edukasi melalui Pusat Kajian Irasional.
Untuk mendaftar keanggotaannya silakan email ke: parsial2012@gmail.com atau mention/DM ke akun twitter @PRSIAL

Tinggal masukkan nama anda, pandangan politik dan hobi anda. Selamat bergabung.

Selasa, 22 Oktober 2013

Pusat Kajian Irasional

Semacam melakukan gerbrakan yang pada dasarnya tidak mendorong signifikasi jelas. Pastilah itu, karena Puska (Pusat Kajian) ini dibuat tidak untuk mengembangkan suatu ilmu atau faham tertentu. Hanya saja ingin memperluas keinginan dan cadangan pengetahuan yang dirasa menarik untuk digali. Apa saja yang akan dibahas, akan kami fasilitasi demi memuaskan kajian masing-masing individu. Individu adalah hakiki dan komunal adalah harga mati.
Mengembangkan pemikiran irasionalitas adalah upaya menguak sisi lain dari diri kita sendiri. Kita tidak menwarkan perspektif yang canggih dan solutif, namun kita menawarkan suatu gagasan yang secara rasional tidak penting. Stop, berhentilah berpikir rasional. Ini bukan suatu ancaman atau sesuatu yang menakutkan, hanya saja alternatif ini akan sayang jika dilewatkan bagi manusia. Maka dari itu, Puska Irasional ini mencoba memberikan semuanya. Pusat Kajian Irasional ini merupakan bentuk dari program Paguyuban Irasional yang memfasilitasi segala kegiatan yang akan dilakukan bagi anggota Paguyuban Irasional.

Senin, 09 September 2013

Paguyuban Irasional (PARSIAL)

Berbagai macam falsafah dalam hidup ini telah terpatri dalam sebuah gramatical carrier. Berbagai informasi yang sudah ada sejak jaman dulu, ataupun dari masa depan (jika kita semua percaya pada kelinieran waktu) mengindikasikan sifatnya untuk terpatrikan dalam alam bawah sadar manusia. Seakan kita sulit untuk tidak mendapatkan internalisasi makna dari segala material yang disemiotikakan. Apakah semuanya harus berjalan seperti itu?. Perlu adanya kroscek untuk melihat fenomena tersebut. Bahkan saya yang telah diinternalisasikan dari kecil inipun menjadi salah satu bentuk gramatical carrier dari waktu paralel dan linier bagi material yang disemiotikakan.
Sudah sewajarnyakah seperti ini. Bagi kaum radikalis, berbeda dengan kaum non-radikalis. Ada yang tergila-gila pada suatu tokoh yang tak pernah mati dalam sejarah ingatan manusia. Apakah seperti itukah hasil yang diinginkan manusia otentik?.  Bahkan pencetus keunikan manusia juga lahir dari pembenaran atas dirinya yang terpatri oleh gramatical carrier sebelumnya. Sepertinya, kebosanan menjadi salah satu cara untuk menjadi bosan dan kita menginginkan hiburan. Jika semuanya berkoar begitu luas, saatnya kita menjadi yang mana seolah-olah tuhan atas diri kita sendiri meskipun kita masih berkubang dalam pembenaran gramatical carrier sebelumnya.
Sebuah kubangan informasi dan penelitian baik jurnal ilmiah maupun jurnal warga yang sangat dibanggakan oleh fetisis media. Bisakah kita menjadi sekumpulan orang sekarang yang diam dan hanya mengamati saja. Ini akan sangat menarik, karena meskipun sudah ada yang mempraktikkan sebelumnya atas nama pembangkangan. Kita melakukan ini hanya sebuah simbolos dan seremonial tanpa esensi (kalau kata pengetahuan saat ini yang sangat bisa tergempur oleh kepercayaan manusia setelahnya, sebelumnya, atau saat ini juga). Berkelimpangan atas nama stabilitas dan demokrasi informasi, memang kita tidak ditakdirkan untuk berkoloni dengan manusia. Kita menjadi periset untuk makhluk kita sendiri, layaknya kita meriset degan gaya kaum evolusionis.
Jadi, tertarikkah anda dengan gerakan yang tidak bergerak. Dengan keheningan yang tidak hening. Kita memang seharusnya berkoloni, jika anda menginginkannya. Lalu, kita berdiam diri atas segala persepsi kita dalam menanggapi sesuau. Bergabunglah dengan kami, (anda dan segala aspek yang dikatakan manusia sosial) yang menjadi landasan terbentuknya masyarakat. Biar lebih santai kita sebut sebagai paguyuban, karena lebih tidak terdidik dan mementingkan pendekatan emosional ketimbang rasional. Mari kita berkumpul dan diam.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengukur Kekuatan Opini

Dalam sebuah teks, sedangkal atau sedalam apa argumentasi kita tergantung dari penafsiran atau kapasitas dari pembacanya. Bagi pembaca teks yang merasa memiliki kemampuan lebih, akan merasa teks yang di bawah kemampuan kapasitasnya akan dikatakan sebagai dangkal. Hal yang sama pula jika si pembaca merasa memiliki kapasitas di bawah penulis. Pada dasarnya, sedangkal apapun argumentasi kita, itulah yang dinamakan teks.
Kejadian seperti sesat pikir pastilah ada. Bahkan sebuah teks tidak harus memiliki alur pikir yang jelas. Hal ini dikarenakan beropini merupakan kegiatan menyampaiakan pendapat kepada khalayak. Ada yang beranggapan bahwa jika ditujukan oleh publik, kita harus mengikuti logika nalar publik. Ada juga bahwa bentuk opini hanyalah keluaran yang bersifat personal dan diungkapkan kepada umum tanpa harapan dari pembuat opini yang jelas. Opini sebagaian besar adalah sebuah proses penggiringan alur pikir agar siapapun bisa mengikuti gagasan yang dikehendaki. Hal ini sangat lekat pada media massa.

Spekulasi akan menyelimuti sebuah opini. Itu sesuatu yang wajar, karena apa yang diungkapkan dalam opini belum tentu merupakan buah pikiran yang ingin dikehendaki oleh si pembuat opini. Lalu, yang akan ditekankan adalah bagaimana sebuah teks, apapun itu, akan memuat sebuah opini. Tidak peduli tujuan dari penulis untuk apa, melainkan teks itu sendiri. Teks itu yang akan membicarakan sendiri. Death-of-the-author, sebuah ide yang dikemukakan oleh kritikus Perancis, Roland Barthes yang mengungkapkan bahwa sebuah teks mestinya dianggap sebagai hal yang independen dalam dirinya. Pembacaan atau penerjemahannya merupakan bidang yang penuh permainan tanda. Dengan demikian informasi dan spekulasi apapun tentang penulis dan niat penulis tidak lagi relevan bagi siapapun yang membaca teks. Dan, opini memuat dalam kadar teks. Dan kekuatan opini tergantung dari pembacanya. 

Senin, 03 Juni 2013

Senjakala Rasionalitas Santet yang Tergerus Revolusi Ilmu Pengetahuan


Sebuah perjalanan ilmu pengetahuan secara historis telah mengikis faham metafisika dengan disiplin filsafat yang mengkaji being qua being (yang ada sebagai ada) atau biasa dikenal sebagai ontologi.
Faham rasionalitas Aristoteles masihlah kabur dalam menjelaskan keberadaan yang ‘ada’ dengan keberadaan secara ilahiah. Maka dari itu Kant mengembangkannya bahwa rasionalitas berubah menjadi kemampuan menangkap atau mengolah kesan-kesan inderawi menjadi suatu pengetahuan. Maka dari itu, dia mengesampingkan aspek teologi dan kosmologi sebagai bentuk dari rasionalitas, melainkan sebagai metafisika. Hal inilah yang dikembangkan filusif selanjutnya yang menekankan pada aspek rasional sebagai titik tumpu revolusi ilmu pengetahuan modern ini. Sedangkan aspek metafisika seringkali luput dalam pembahasan, bahkan sampai saat ini pembahasan hhal-hal klenik masih belum tergali secara rasional.
Dalam hal ini, aspek metafisika yang akan diakngkat adalah sebuah sihir yang difokuskan dalam santet. Santet sering dibahas dalam kajian budaya, bahkan saat ini menjadi topik bahasan hukum. Sejarah menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sihir seperti santet telah menjadi cerita-cerita rakyat di Indonesia. Catatanh sejarah Eropa, Afrika, dan Amerika pun telah tumbuh subur dukun yang meguasai ilmu voodoo tersebut pada abad pertengahan. Bahkan cerita mitos dan legenda mengenai sihir menjadi literasi populer pada abad ke 21 ini.
Penelitian terhadap jimat-jimat oleh National Geographic telah mengindikasikan bahwa penduduk Romawi memiliki kebiasaan membuat orang dibencinya sekarat dengan menuliskan mantra di lembar timah tipis yang ditusuk paku. Lalu dilempar ke sumur keramat agar para pemilik kekuatan kosmos seperti jin, setan, atau dewa dapat membatu mengabulkan permintaannya. Sama dengan penggunaan jimat di negara Mesir, Yunani, Turki, Arab Kuno, India dan Yahudi yang menggunakan perhiasan atau kalung berbentuk telapak tangan yang mengarah kedepan dengan mata ditengahnya.
Hampir semua penduduk dunia mengenal adanya kekuatan metafisika dan sihir. Sama halnya dengan santet yang ada di Indonesia. Pada dasarnya dampak dari santet memang bisa dirasakan, hanya saja barang bukti dan tidak semua prosedurnya dapat diketahui dan dijelaskan secara rasional. Karena kita hanya memandang asumsi kenyataan berdasarkan panca indera, maka diluar nalar yang diterima panca indera hal tersebut menjadi tidak berlaku. Padahal pada kenyataannya memang kepekaan manusia berbeda-beda satu dengan lainnya.
Pada dasarnya, seperti halnya mempelajari hal yang rasional saja ilmu santet dapat dipelajari. Sesuatu yang dapat dipelajari dan ada merupakan sesuatu yang rasional, hanya saja perkembangan ilmu pengetahuan hanya menetapkan suatu pengujian yang universal dan menggeneralisir dalam standar-standar kebakuan tertentu. Maka dari itu, perkembangan metafisika dikesampingkan karena dianggap tidak memiliki kaidah-kaidah yang dapat diterima secara umum. Meskipun, sudah banyak yang telah membuktikan keberadaan dan kebenaran rasionalitas metafisika seperti fenomena santet. Mungkin saja apabila hal metafisika seperti santet sudah teruji secara rasional, perkembagan ilmu tidak akan pakem pada hal rasional saja, akan tetapi akan terus muncul fenomena metafisika yang selalu mengiringi pemikiran manusia. Karena pada dasarnya perkembangan peradaban manusia tidak hanya berkaitan dengan perwujudan yang bisa dijelaskan, akan tetapi banyak juga yang tidak bisa dijelaskan, dan itu semua tercakup dalam kerangka metafisika.
Suatu saat nanti, pasti ada penjelasan yang rasional yang masuk dalam tataran ontologis dalam mengungkap fenomena santet ini. Dengan pembuktian yang lebih ilmiah dan komprehensif yang tidak hanya berlaku pada tataran sosial dan budaya saja, akan tetapi lebih ke basicnya sebagai ilmu alam seperti fisika. Seperti halnya Gravitasi, kita tidak bisa memegang atau melihat bagaimana energi yang berkerjannya, akan tetapi dampaknya memang terlihat. Sedangkan santet ini padahal bisa dijelaskan secara rasional, karena apa yang bisa dirasakan manusia dengan panca indera adalah sebuah rasionalitas, hanya saja kita belum menemukan dimana titik rasional universal yang dapat menjelaskan fenomenanya.

Sabtu, 18 Mei 2013

Penanaman Nilai Ekosentrisme Melalui Mitos Metafisika Tentang Alam Yang Dikemas Dalam Acara Kampus


Upaya perlindungan terhadap lingkungan merupakan manifesto kongkrit yang sedang digalakkan oleh pemerintah, di samping pembangunan infrastruktur yang kian pesat. Dapat dikatakan bahwa perlindungan alam merupakan kegiatan sampingan yang hanya menjadi pelengkap dari kegiatan pembangunan infrastruktur. Kita, selama ini terlalu dalam tataran normatif saja untuk menerapkan konsep perkembangan peradaban manusia yang selaras dengan alam. Pada kenyataannya, melihat perkembangan pembangunan infrastruktur bangunan yang begitu pesat, paradigma yang diimplementasikan ternyata bahwa manusialah yang menaklukkan alam.
Manusia yang menaklukkan alam maksudnya adalah segala aktivitas manusia dalam kemampuannya dapat mengendalikan alam. Tidak terkecuali manusia dapat memanfaatkan sumber alam karena kecerdasannya dalam mengolah sumber alamnya yang masih baku menjadi produk-produk siap pakai. Padahal, seharusnya manusia janganlah terlalu memfokuskan pada kesejahteraan manusia saja. Memang, kita sebagai makhluk sosial dan mempelajari ilmu sosial snagat menuntut hasil yang dicapai adalah keadilan sosial dan kesejahtaraan sosial. Akan tetapi, perspektif ini terlalu usang karena hanya sekedar tataran interaksionis saja, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Sedangkan hubungan antara manusia dengan alam seakan luput dalam pembelajaran fakultas ilmu sosial dan ilmu politik ini.
Rasionalitas manusia dalam melihat manusia sebagai aspek utama dalam penelitiannya terlalu kaku. Meskipun kita berada pada ranah pembelajaran ilmu sosial, seharusnya pengetahuan akan ilmu alam juga setidaknya kita pelajari juga. Untuk maju secara otentik kehidupan manusia yang unik ini, kita seharusnya jangan membatasi ilmu yang kita terima hanya pada tataran sosial saja. Aspek ilmu alam sehendaknya kita pelajari dengan baik, agar implementasi yang dihasilkan mahasiswa ilmu sosial juga setidaknya memiliki kekritisan pada tingkatan ilmu alam, meskipun tidak terlalu mendetail.
Mungkin kita selama ini berpikir bahwa dengan kekhususan ilmu yang kita dapatkan, dengan pendalaman yang baik akan membuat kita menjadi profesional dibidang yang kita geluti. Pada faktanya kita sebagai mahasiswa yang bahkan belum mendapatkan gelar apapun tidak bisa berkoar pada tataran berbicara ilmiah. Meskipun kita sangat dituntut untuk berpikir seolah-olah kita adalah ilmuwan sosial dengan pendekatan penulisan dan sistematika yang kita terima di ruang kelas kuliah, kita sehendaknya juga melebarkan kreativitas yang hanya memuat gagasan saja. Biarkan ilmu dan metode ilmiah yang kita pelajari kita gunakan saat bergelut dengan hal-hal yang berbau akademik seperti tugas kuliah. Di luar itu, kita bebas memakai keluasan pemikiran kita dalam melihat permasalahan sosial. Dalam hal inilah imajinasi dan kreativitas mahasiswa perlu dikembangkan. Setidaknya, kita dapat menempatkan diri kita sesuai dengan forum dan kegiatan yang akan kita laksanakan.
Kembali ke permasalahan terancamnya keanekaragaman hayati akibat pembangunan, ada beberapa aspek penting yang harus dipahami. Pertama, pembangunan infrastruktur masih dijadikan kegiatan utama sebagai parameter peradaban manusia. Sehingga hal ini mengakibatkan pelestarian alam menjadi aspek yang dinomorduakan, karena hanya digunakan sebagai keidealan saja. Kedua, perspektif rasionalitas manusia yang mengagung-agungkan modernitas dengan berdasarkan pembangunan haruslah berbentuk hasil fisik dari rancangan karya manusia. Ternyata tidak selamanya yang disebut modernitas dapat memperadabkan.
Jika dilakukan secatara terus-menerus sampai pada generasi mendatang, bisa diprekdisikan bahwa pembangunan infrastruktur secara besar-besaran akan merusak keanekaragaman hayati. Fakta-fakta mengenai rusaknya keanekaragaman hayati akibat pembangunan tidak perlu disebutkan lagi pada argumentasi ini. Hal ini dikarenakan, apalagi dipaparkan secara keseluruhan, atau kita ambil di negara Indonesia saja akan meuncul berbagai kerusakan dan kepunahannya. Daripada menjelaskan dan memaparkan akan fakta-fakta, lebih baik kita lebih berfokus pada gagasan dan solusi alternatif untuk meredam itu semua. Saya menawarkan beberapa gagasan unik dan praktis yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa ataupun anak muda dalam memeberikan pengetahuan yang akan cukup mengena di kepala setiap orang.
Seperti yang kita ketahui bahwa zaman dahulu ketika generasi ayah-ibu, kakek-nenek, dan buyut kita memiliki cara pengendalian alam yang cukup efektif. Cara tersebut adalah dengan sebuah cerita mitos yang memiliki nilai metafisika yang pada dasarnya memiliki nilai ekosentrisme. Ekosentrisme ini merupakan sebuah teori tentang etika lingkungan yang bermula dari perkembangan biosentrisme. Faham biosentrisme ini percaya bahwa seluruh makhluk hidup dan alam memiliki nilai moral yang tertanam dalam dirinya, sehingga diperlukan sebuah kepedulian. Tidak hanya manusia saja yang berhak diperlakukan layaknya manusia, alam pun juga harus diperlakukan seperti diri sendiri.
Teori ini kemudian berkembang lebih luas menjadi teori ekosentrisme. Ekosentrisme sendiri memusatkan pada nilai moral seluruh makhluk hidup dan benda abiotik lainnya yang saling terkait. Oleh karena itu, kepedulian moral tidak hanya ditujukan pada makhluk hidup saja, tetapi untuk benda abiotik yang terkait pula. Dalam hal ini, alam menurut benda hidup dan benda mati memiliki etika yang harus kita perhatikan juga. Sehingga, nilai ekosentrisme pada dasarnya merupakan salah satu pencegahan rusaknya keanekaragaman hayati yang paling tua yang pernah dilakukan manusia. Faham ini sangat berkembang saat kondisi pendidikan yang menekankan rasionalitas manusia belum berkembang di Indonesia. Maka dari itu aplikasi ekosentrisme berkembang pada generasi dahulu sebagai upaya yang dipaksakan untuk melindungi alam, dan saya sangat setuju bahwa pemaksaan terhadap diri kita untuk arif, bijaksana serta ‘sopan’ terhadap alam.
Mungkin dengan memberikan unsur metafisika pada cerita mitos demi tujuan terpenuhinya aspek ekosentrisme hanya akan membakar rasionalitas manusia saja. Akan tetapi, beginilah adanya. Jika kita menuntut bahwa keselarasan dengan alam merupakan prioritas utama ketimbang aspek pengembangan modernitas, kta harus yakin juga untuk melakukannya secara serius. Mitos metafisika merupakan senjata yang paling ampuh untuk meruntuhkan rasionalitas manusia dengan mengurangi daya kritisnya, menjadi faham dan mengikuti hegemoni yang ada. Bayangkan saja, dahulu hegemoni mitos metafisika sangat efektif dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati, maka dari itu sekarang ini perlu mengembalikan hal tersebut.
Mitos metafisika dalam hal ini adalah berupa cerita-cerita yang memang didesas-desuskan agar manusia waspada terhadap alam, karena alam tersebut memiliki semacam ‘penunggu’. Apabila diganggu kelestariannya, akan muncul kutukan yang didapatkan kepada pengganggu alam. Pada dasarnya, memang metafisika adalah sebuah rasionalitas yang terbungkam akibat revolusi ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang hanya olahan hasil penerimaan panca indera yang kemudian digeneralisasikan, seolah-olah manusia menjadi paham kesemuanya bahkan menjadi sombong akan ketahuan tersebut. Inilah gunanya metafisika yang pada dasarnya merupakan wujud moral dari penghargaan kita terhadap suatu hal yang kita ketahui. Dengan metafisika, segala sesuatu akan muncul dengan arif dan bijaksana karena pada dasarnya pengetahuan manusia belum ada apa-apanya.
Terkait untuk teknis implementasi mitos metafisika tentang alam, akan sangat tepat diterapkan bagi orang yang sedang terdidik. Dalam hal ini adalah orang-orang yang sedang berseolah formal, karena mereka sedang digembleng aspek rasionalitasnya. Maka dari itu, ketika mereka disuguhi dan diinternalisasikan aspek metafisika, otak mereka akan cepat menangkap, merespon, dan menyimpannya. Maka dari itu, perlu bagi kita untuk merintis sebuah acara atau kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan aspek-aspek metafisika kepada orang yang sedang meningkatkan aspek rasionalitas.
Acara tersebut antara lain berisi tentang sebuah pameran lokasi-lokasi alam yang memiliki penunggu atau penjaganya. Selain tu, pengenalan makhluk-makhluk gaib yang biasa menempati alam-alam yang masih ‘virgin’. Seperti dipamerkan dalam sebuah galeri mitos metafisika yang dikemas secara menarik demi terciptanya nilai ekosentrisme. Perlunya juga memanggil paranormal untuk seminar metafisika terkait internalisasi nilai-nilai mitos, sekalian kita mengembangkan urban legend masyarakat kita. Cerita rakyat yang secara mistis dipaparkan saat seminar dengan galeri foto, video, dan diorama akan sangat efektif bagi orang-orang yang sudah jenuh dijejeali rasionalitas.
Acara ini sehendaknya dibuat oleh mahasiswa yang peduli akan kelestarian alam. Dengan memanfaatkan mitos mistisme ini, kita bisa merangkul akan kebenaran gaib yang kasat mata bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan pencapaian yang rasional. Goal dalam gagasan ini tentunya adalah tereduksinya perusakan keanekaragaman hayati terutama alam yang masih asli. Acara ini memang menekankan pada sifat takut bagi manusia yang akan berurusan dengan alam, akan tetapi hal ini lah yang bisa dilakukan agar kelakuan manusia bisa teredam dan agar tidak semena-mena terhadap alam.
Kembali lagi pada konsep bahwa pada dasarnya hanya metafisika yang bisa membungkam manusia. Karena pada hakikatnya kekritisan kita pada rasionalitas hanya akan memunculkan pembenaran-pembenaran secara eksistensial. Pembenaran yang ditekankan pada tulisan ringan ini adalah kebenaran akan ekosentrisme. Setinggi-tingginya tingkat intelektual dan nilai manusia, tidak akan ada apa-apanya dibandingkan alam. Itu nilai yang ditekankan dalam tulisan ini. Meskipun dalam narasi-narasi besar yang sudah mendominasi seebagian alam bawah sadar manusia, bahwa manusia adalah pemimpin bumi.
Tulisan ini tidak mengajarkan agar manusia takut akan makhluk gaib yang akan disosialisasikan demi tercapainya aspek ekosentrisme. Akan tetapi, hanya menjelaskan adanya etika lingkungan yang harus diperhatikan ketika kita berurusan dengan hal tersebut. Mitos metafisika bukan untuk ditakuti, akan tetapi dipahami secara nyata sebagai kontrol manusia atas kesombongan rasionalitas yang terlalu dibanggakan, sehingga hanya akan menuai kerugian bagi manusia itu sendiri. Semuanya harus selaras, antara rasionalitas dan metafisika, layaknya keselarasan antara pembangunan modernitas dan ekosentrisme.



Daftar Pustaka

Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung: Penerbit Djambatan
Adian, Donny Gahral. 2012. Senjakala Metafisika Barat. Depok: Penerbit Koekoesan