Dalam sebuah teks, sedangkal atau
sedalam apa argumentasi kita tergantung dari penafsiran atau kapasitas dari
pembacanya. Bagi pembaca teks yang merasa memiliki kemampuan lebih, akan merasa
teks yang di bawah kemampuan kapasitasnya akan dikatakan sebagai dangkal. Hal yang
sama pula jika si pembaca merasa memiliki kapasitas di bawah penulis. Pada dasarnya,
sedangkal apapun argumentasi kita, itulah yang dinamakan teks.
Kejadian seperti sesat pikir
pastilah ada. Bahkan sebuah teks tidak harus memiliki alur pikir yang jelas. Hal
ini dikarenakan beropini merupakan kegiatan menyampaiakan pendapat kepada
khalayak. Ada yang beranggapan bahwa jika ditujukan oleh publik, kita harus
mengikuti logika nalar publik. Ada juga bahwa bentuk opini hanyalah keluaran
yang bersifat personal dan diungkapkan kepada umum tanpa harapan dari pembuat
opini yang jelas. Opini sebagaian besar adalah sebuah proses penggiringan alur
pikir agar siapapun bisa mengikuti gagasan yang dikehendaki. Hal ini sangat
lekat pada media massa.
Spekulasi akan menyelimuti sebuah
opini. Itu sesuatu yang wajar, karena apa yang diungkapkan dalam opini belum
tentu merupakan buah pikiran yang ingin dikehendaki oleh si pembuat opini. Lalu,
yang akan ditekankan adalah bagaimana sebuah teks, apapun itu, akan memuat
sebuah opini. Tidak peduli tujuan dari penulis untuk apa, melainkan teks itu
sendiri. Teks itu yang akan membicarakan sendiri. Death-of-the-author, sebuah
ide yang dikemukakan oleh kritikus Perancis, Roland Barthes yang mengungkapkan
bahwa sebuah teks mestinya dianggap sebagai hal yang independen dalam dirinya. Pembacaan
atau penerjemahannya merupakan bidang yang penuh permainan tanda. Dengan
demikian informasi dan spekulasi apapun tentang penulis dan niat penulis tidak
lagi relevan bagi siapapun yang membaca teks. Dan, opini memuat dalam kadar
teks. Dan kekuatan opini tergantung dari pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar