Sabtu, 24 Agustus 2013

Mengukur Kekuatan Opini

Dalam sebuah teks, sedangkal atau sedalam apa argumentasi kita tergantung dari penafsiran atau kapasitas dari pembacanya. Bagi pembaca teks yang merasa memiliki kemampuan lebih, akan merasa teks yang di bawah kemampuan kapasitasnya akan dikatakan sebagai dangkal. Hal yang sama pula jika si pembaca merasa memiliki kapasitas di bawah penulis. Pada dasarnya, sedangkal apapun argumentasi kita, itulah yang dinamakan teks.
Kejadian seperti sesat pikir pastilah ada. Bahkan sebuah teks tidak harus memiliki alur pikir yang jelas. Hal ini dikarenakan beropini merupakan kegiatan menyampaiakan pendapat kepada khalayak. Ada yang beranggapan bahwa jika ditujukan oleh publik, kita harus mengikuti logika nalar publik. Ada juga bahwa bentuk opini hanyalah keluaran yang bersifat personal dan diungkapkan kepada umum tanpa harapan dari pembuat opini yang jelas. Opini sebagaian besar adalah sebuah proses penggiringan alur pikir agar siapapun bisa mengikuti gagasan yang dikehendaki. Hal ini sangat lekat pada media massa.

Spekulasi akan menyelimuti sebuah opini. Itu sesuatu yang wajar, karena apa yang diungkapkan dalam opini belum tentu merupakan buah pikiran yang ingin dikehendaki oleh si pembuat opini. Lalu, yang akan ditekankan adalah bagaimana sebuah teks, apapun itu, akan memuat sebuah opini. Tidak peduli tujuan dari penulis untuk apa, melainkan teks itu sendiri. Teks itu yang akan membicarakan sendiri. Death-of-the-author, sebuah ide yang dikemukakan oleh kritikus Perancis, Roland Barthes yang mengungkapkan bahwa sebuah teks mestinya dianggap sebagai hal yang independen dalam dirinya. Pembacaan atau penerjemahannya merupakan bidang yang penuh permainan tanda. Dengan demikian informasi dan spekulasi apapun tentang penulis dan niat penulis tidak lagi relevan bagi siapapun yang membaca teks. Dan, opini memuat dalam kadar teks. Dan kekuatan opini tergantung dari pembacanya.