Upaya
perlindungan terhadap lingkungan merupakan manifesto kongkrit yang sedang
digalakkan oleh pemerintah, di samping pembangunan infrastruktur yang kian
pesat. Dapat dikatakan bahwa perlindungan alam merupakan kegiatan sampingan
yang hanya menjadi pelengkap dari kegiatan pembangunan infrastruktur. Kita,
selama ini terlalu dalam tataran normatif saja untuk menerapkan konsep
perkembangan peradaban manusia yang selaras dengan alam. Pada kenyataannya,
melihat perkembangan pembangunan infrastruktur bangunan yang begitu pesat,
paradigma yang diimplementasikan ternyata bahwa manusialah yang menaklukkan alam.
Manusia
yang menaklukkan alam maksudnya adalah segala aktivitas manusia dalam
kemampuannya dapat mengendalikan alam. Tidak terkecuali manusia dapat
memanfaatkan sumber alam karena kecerdasannya dalam mengolah sumber alamnya
yang masih baku menjadi produk-produk siap pakai. Padahal, seharusnya manusia
janganlah terlalu memfokuskan pada kesejahteraan manusia saja. Memang, kita
sebagai makhluk sosial dan mempelajari ilmu sosial snagat menuntut hasil yang
dicapai adalah keadilan sosial dan kesejahtaraan sosial. Akan tetapi,
perspektif ini terlalu usang karena hanya sekedar tataran interaksionis saja,
yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Sedangkan hubungan antara manusia
dengan alam seakan luput dalam pembelajaran fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
ini.
Rasionalitas
manusia dalam melihat manusia sebagai aspek utama dalam penelitiannya terlalu
kaku. Meskipun kita berada pada ranah pembelajaran ilmu sosial, seharusnya
pengetahuan akan ilmu alam juga setidaknya kita pelajari juga. Untuk maju
secara otentik kehidupan manusia yang unik ini, kita seharusnya jangan
membatasi ilmu yang kita terima hanya pada tataran sosial saja. Aspek ilmu alam
sehendaknya kita pelajari dengan baik, agar implementasi yang dihasilkan
mahasiswa ilmu sosial juga setidaknya memiliki kekritisan pada tingkatan ilmu
alam, meskipun tidak terlalu mendetail.
Mungkin
kita selama ini berpikir bahwa dengan kekhususan ilmu yang kita dapatkan,
dengan pendalaman yang baik akan membuat kita menjadi profesional dibidang yang
kita geluti. Pada faktanya kita sebagai mahasiswa yang bahkan belum mendapatkan
gelar apapun tidak bisa berkoar pada tataran berbicara ilmiah. Meskipun kita
sangat dituntut untuk berpikir seolah-olah kita adalah ilmuwan sosial dengan
pendekatan penulisan dan sistematika yang kita terima di ruang kelas kuliah,
kita sehendaknya juga melebarkan kreativitas yang hanya memuat gagasan saja.
Biarkan ilmu dan metode ilmiah yang kita pelajari kita gunakan saat bergelut
dengan hal-hal yang berbau akademik seperti tugas kuliah. Di luar itu, kita
bebas memakai keluasan pemikiran kita dalam melihat permasalahan sosial. Dalam hal
inilah imajinasi dan kreativitas mahasiswa perlu dikembangkan. Setidaknya, kita
dapat menempatkan diri kita sesuai dengan forum dan kegiatan yang akan kita
laksanakan.
Kembali
ke permasalahan terancamnya keanekaragaman hayati akibat pembangunan, ada
beberapa aspek penting yang harus dipahami. Pertama, pembangunan infrastruktur
masih dijadikan kegiatan utama sebagai parameter peradaban manusia. Sehingga
hal ini mengakibatkan pelestarian alam menjadi aspek yang dinomorduakan, karena
hanya digunakan sebagai keidealan saja. Kedua, perspektif rasionalitas manusia
yang mengagung-agungkan modernitas dengan berdasarkan pembangunan haruslah
berbentuk hasil fisik dari rancangan karya manusia. Ternyata tidak selamanya
yang disebut modernitas dapat memperadabkan.
Jika
dilakukan secatara terus-menerus sampai pada generasi mendatang, bisa
diprekdisikan bahwa pembangunan infrastruktur secara besar-besaran akan merusak
keanekaragaman hayati. Fakta-fakta mengenai rusaknya keanekaragaman hayati
akibat pembangunan tidak perlu disebutkan lagi pada argumentasi ini. Hal ini
dikarenakan, apalagi dipaparkan secara keseluruhan, atau kita ambil di negara
Indonesia saja akan meuncul berbagai kerusakan dan kepunahannya. Daripada
menjelaskan dan memaparkan akan fakta-fakta, lebih baik kita lebih berfokus
pada gagasan dan solusi alternatif untuk meredam itu semua. Saya menawarkan
beberapa gagasan unik dan praktis yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa
ataupun anak muda dalam memeberikan pengetahuan yang akan cukup mengena di
kepala setiap orang.
Seperti
yang kita ketahui bahwa zaman dahulu ketika generasi ayah-ibu, kakek-nenek, dan
buyut kita memiliki cara pengendalian alam yang cukup efektif. Cara tersebut
adalah dengan sebuah cerita mitos yang memiliki nilai metafisika yang pada
dasarnya memiliki nilai ekosentrisme. Ekosentrisme ini merupakan sebuah teori
tentang etika lingkungan yang bermula dari perkembangan biosentrisme. Faham
biosentrisme ini percaya bahwa seluruh makhluk hidup dan alam memiliki nilai
moral yang tertanam dalam dirinya, sehingga diperlukan sebuah kepedulian. Tidak
hanya manusia saja yang berhak diperlakukan layaknya manusia, alam pun juga
harus diperlakukan seperti diri sendiri.
Teori
ini kemudian berkembang lebih luas menjadi teori ekosentrisme. Ekosentrisme
sendiri memusatkan pada nilai moral seluruh makhluk hidup dan benda abiotik
lainnya yang saling terkait. Oleh karena itu, kepedulian moral tidak hanya
ditujukan pada makhluk hidup saja, tetapi untuk benda abiotik yang terkait
pula. Dalam hal ini, alam menurut benda hidup dan benda mati memiliki etika
yang harus kita perhatikan juga. Sehingga, nilai ekosentrisme pada dasarnya
merupakan salah satu pencegahan rusaknya keanekaragaman hayati yang paling tua
yang pernah dilakukan manusia. Faham ini sangat berkembang saat kondisi
pendidikan yang menekankan rasionalitas manusia belum berkembang di Indonesia.
Maka dari itu aplikasi ekosentrisme berkembang pada generasi dahulu sebagai
upaya yang dipaksakan untuk melindungi alam, dan saya sangat setuju bahwa
pemaksaan terhadap diri kita untuk arif, bijaksana serta ‘sopan’ terhadap alam.
Mungkin
dengan memberikan unsur metafisika pada cerita mitos demi tujuan terpenuhinya
aspek ekosentrisme hanya akan membakar rasionalitas manusia saja. Akan tetapi,
beginilah adanya. Jika kita menuntut bahwa keselarasan dengan alam merupakan
prioritas utama ketimbang aspek pengembangan modernitas, kta harus yakin juga
untuk melakukannya secara serius. Mitos metafisika merupakan senjata yang
paling ampuh untuk meruntuhkan rasionalitas manusia dengan mengurangi daya
kritisnya, menjadi faham dan mengikuti hegemoni yang ada. Bayangkan saja,
dahulu hegemoni mitos metafisika sangat efektif dalam upaya perlindungan
keanekaragaman hayati, maka dari itu sekarang ini perlu mengembalikan hal
tersebut.
Mitos
metafisika dalam hal ini adalah berupa cerita-cerita yang memang
didesas-desuskan agar manusia waspada terhadap alam, karena alam tersebut
memiliki semacam ‘penunggu’. Apabila diganggu kelestariannya, akan muncul
kutukan yang didapatkan kepada pengganggu alam. Pada dasarnya, memang metafisika
adalah sebuah rasionalitas yang terbungkam akibat revolusi ilmu pengetahuan. Pengetahuan
yang hanya olahan hasil penerimaan panca indera yang kemudian
digeneralisasikan, seolah-olah manusia menjadi paham kesemuanya bahkan menjadi
sombong akan ketahuan tersebut. Inilah gunanya metafisika yang pada dasarnya
merupakan wujud moral dari penghargaan kita terhadap suatu hal yang kita
ketahui. Dengan metafisika, segala sesuatu akan muncul dengan arif dan
bijaksana karena pada dasarnya pengetahuan manusia belum ada apa-apanya.
Terkait
untuk teknis implementasi mitos metafisika tentang alam, akan sangat tepat
diterapkan bagi orang yang sedang terdidik. Dalam hal ini adalah orang-orang
yang sedang berseolah formal, karena mereka sedang digembleng aspek rasionalitasnya.
Maka dari itu, ketika mereka disuguhi dan diinternalisasikan aspek metafisika,
otak mereka akan cepat menangkap, merespon, dan menyimpannya. Maka dari itu,
perlu bagi kita untuk merintis sebuah acara atau kegiatan yang bertujuan untuk
mengenalkan aspek-aspek metafisika kepada orang yang sedang meningkatkan aspek
rasionalitas.
Acara
tersebut antara lain berisi tentang sebuah pameran lokasi-lokasi alam yang
memiliki penunggu atau penjaganya. Selain tu, pengenalan makhluk-makhluk gaib
yang biasa menempati alam-alam yang masih ‘virgin’. Seperti dipamerkan dalam
sebuah galeri mitos metafisika yang dikemas secara menarik demi terciptanya
nilai ekosentrisme. Perlunya juga memanggil paranormal untuk seminar metafisika
terkait internalisasi nilai-nilai mitos, sekalian kita mengembangkan urban legend masyarakat kita. Cerita
rakyat yang secara mistis dipaparkan saat seminar dengan galeri foto, video,
dan diorama akan sangat efektif bagi orang-orang yang sudah jenuh dijejeali
rasionalitas.
Acara
ini sehendaknya dibuat oleh mahasiswa yang peduli akan kelestarian alam. Dengan
memanfaatkan mitos mistisme ini, kita bisa merangkul akan kebenaran gaib yang
kasat mata bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan pencapaian yang
rasional. Goal dalam gagasan ini
tentunya adalah tereduksinya perusakan keanekaragaman hayati terutama alam yang
masih asli. Acara ini memang menekankan pada sifat takut bagi manusia yang akan
berurusan dengan alam, akan tetapi hal ini lah yang bisa dilakukan agar
kelakuan manusia bisa teredam dan agar tidak semena-mena terhadap alam.
Kembali
lagi pada konsep bahwa pada dasarnya hanya metafisika yang bisa membungkam
manusia. Karena pada hakikatnya kekritisan kita pada rasionalitas hanya akan
memunculkan pembenaran-pembenaran secara eksistensial. Pembenaran yang
ditekankan pada tulisan ringan ini adalah kebenaran akan ekosentrisme.
Setinggi-tingginya tingkat intelektual dan nilai manusia, tidak akan ada
apa-apanya dibandingkan alam. Itu nilai yang ditekankan dalam tulisan ini.
Meskipun dalam narasi-narasi besar yang sudah mendominasi seebagian alam bawah
sadar manusia, bahwa manusia adalah pemimpin bumi.
Tulisan
ini tidak mengajarkan agar manusia takut akan makhluk gaib yang akan
disosialisasikan demi tercapainya aspek ekosentrisme. Akan tetapi, hanya
menjelaskan adanya etika lingkungan yang harus diperhatikan ketika kita
berurusan dengan hal tersebut. Mitos metafisika bukan untuk ditakuti, akan
tetapi dipahami secara nyata sebagai kontrol manusia atas kesombongan
rasionalitas yang terlalu dibanggakan, sehingga hanya akan menuai kerugian bagi
manusia itu sendiri. Semuanya harus selaras, antara rasionalitas dan
metafisika, layaknya keselarasan antara pembangunan modernitas dan
ekosentrisme.
Daftar Pustaka
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Bandung: Penerbit Djambatan
Adian, Donny Gahral. 2012. Senjakala Metafisika Barat. Depok:
Penerbit Koekoesan
keren kak...
BalasHapusdani, gue suka banget bahasan lo. i wish my lecturer was you, not our true lecturer :p hehehe..
BalasHapus"tidak selamanya yang disebut modernitas dapat memperadabkan"
pembangunan yang katanya ingin membuat peradaban manusia semakin meningkat, justru membuat kebebasan manusia menjadi semakin sempit, karena alam yang harusnya kita jaga itu kan juga untuk manusia. rusaknya alam akan berdampak buruk juga ke manusia kan shg kualitas hidup manusia juga akan bertambah buruk. jadinya pembangunan bukannya membebaskan (amartya sen), tapi malah jadi membuat manusia tidak leluasa bergerak lagi. rusaknya alam membuat pilihan manusia menjadi semakin sedikit shg standar hidup manusia pun ga terpenuhi.
eh itu gue fokus ke development nya dan, ga ke masalah rasionalitas dan metafisikanya. hehehe.. penyadaran mitos2 atau bentuk metafisika yang lain bisa jadi jawabannya untuk perusakan atas nama development itu. lu keren!!