Sabtu, 18 Mei 2013

Penanaman Nilai Ekosentrisme Melalui Mitos Metafisika Tentang Alam Yang Dikemas Dalam Acara Kampus


Upaya perlindungan terhadap lingkungan merupakan manifesto kongkrit yang sedang digalakkan oleh pemerintah, di samping pembangunan infrastruktur yang kian pesat. Dapat dikatakan bahwa perlindungan alam merupakan kegiatan sampingan yang hanya menjadi pelengkap dari kegiatan pembangunan infrastruktur. Kita, selama ini terlalu dalam tataran normatif saja untuk menerapkan konsep perkembangan peradaban manusia yang selaras dengan alam. Pada kenyataannya, melihat perkembangan pembangunan infrastruktur bangunan yang begitu pesat, paradigma yang diimplementasikan ternyata bahwa manusialah yang menaklukkan alam.
Manusia yang menaklukkan alam maksudnya adalah segala aktivitas manusia dalam kemampuannya dapat mengendalikan alam. Tidak terkecuali manusia dapat memanfaatkan sumber alam karena kecerdasannya dalam mengolah sumber alamnya yang masih baku menjadi produk-produk siap pakai. Padahal, seharusnya manusia janganlah terlalu memfokuskan pada kesejahteraan manusia saja. Memang, kita sebagai makhluk sosial dan mempelajari ilmu sosial snagat menuntut hasil yang dicapai adalah keadilan sosial dan kesejahtaraan sosial. Akan tetapi, perspektif ini terlalu usang karena hanya sekedar tataran interaksionis saja, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Sedangkan hubungan antara manusia dengan alam seakan luput dalam pembelajaran fakultas ilmu sosial dan ilmu politik ini.
Rasionalitas manusia dalam melihat manusia sebagai aspek utama dalam penelitiannya terlalu kaku. Meskipun kita berada pada ranah pembelajaran ilmu sosial, seharusnya pengetahuan akan ilmu alam juga setidaknya kita pelajari juga. Untuk maju secara otentik kehidupan manusia yang unik ini, kita seharusnya jangan membatasi ilmu yang kita terima hanya pada tataran sosial saja. Aspek ilmu alam sehendaknya kita pelajari dengan baik, agar implementasi yang dihasilkan mahasiswa ilmu sosial juga setidaknya memiliki kekritisan pada tingkatan ilmu alam, meskipun tidak terlalu mendetail.
Mungkin kita selama ini berpikir bahwa dengan kekhususan ilmu yang kita dapatkan, dengan pendalaman yang baik akan membuat kita menjadi profesional dibidang yang kita geluti. Pada faktanya kita sebagai mahasiswa yang bahkan belum mendapatkan gelar apapun tidak bisa berkoar pada tataran berbicara ilmiah. Meskipun kita sangat dituntut untuk berpikir seolah-olah kita adalah ilmuwan sosial dengan pendekatan penulisan dan sistematika yang kita terima di ruang kelas kuliah, kita sehendaknya juga melebarkan kreativitas yang hanya memuat gagasan saja. Biarkan ilmu dan metode ilmiah yang kita pelajari kita gunakan saat bergelut dengan hal-hal yang berbau akademik seperti tugas kuliah. Di luar itu, kita bebas memakai keluasan pemikiran kita dalam melihat permasalahan sosial. Dalam hal inilah imajinasi dan kreativitas mahasiswa perlu dikembangkan. Setidaknya, kita dapat menempatkan diri kita sesuai dengan forum dan kegiatan yang akan kita laksanakan.
Kembali ke permasalahan terancamnya keanekaragaman hayati akibat pembangunan, ada beberapa aspek penting yang harus dipahami. Pertama, pembangunan infrastruktur masih dijadikan kegiatan utama sebagai parameter peradaban manusia. Sehingga hal ini mengakibatkan pelestarian alam menjadi aspek yang dinomorduakan, karena hanya digunakan sebagai keidealan saja. Kedua, perspektif rasionalitas manusia yang mengagung-agungkan modernitas dengan berdasarkan pembangunan haruslah berbentuk hasil fisik dari rancangan karya manusia. Ternyata tidak selamanya yang disebut modernitas dapat memperadabkan.
Jika dilakukan secatara terus-menerus sampai pada generasi mendatang, bisa diprekdisikan bahwa pembangunan infrastruktur secara besar-besaran akan merusak keanekaragaman hayati. Fakta-fakta mengenai rusaknya keanekaragaman hayati akibat pembangunan tidak perlu disebutkan lagi pada argumentasi ini. Hal ini dikarenakan, apalagi dipaparkan secara keseluruhan, atau kita ambil di negara Indonesia saja akan meuncul berbagai kerusakan dan kepunahannya. Daripada menjelaskan dan memaparkan akan fakta-fakta, lebih baik kita lebih berfokus pada gagasan dan solusi alternatif untuk meredam itu semua. Saya menawarkan beberapa gagasan unik dan praktis yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa ataupun anak muda dalam memeberikan pengetahuan yang akan cukup mengena di kepala setiap orang.
Seperti yang kita ketahui bahwa zaman dahulu ketika generasi ayah-ibu, kakek-nenek, dan buyut kita memiliki cara pengendalian alam yang cukup efektif. Cara tersebut adalah dengan sebuah cerita mitos yang memiliki nilai metafisika yang pada dasarnya memiliki nilai ekosentrisme. Ekosentrisme ini merupakan sebuah teori tentang etika lingkungan yang bermula dari perkembangan biosentrisme. Faham biosentrisme ini percaya bahwa seluruh makhluk hidup dan alam memiliki nilai moral yang tertanam dalam dirinya, sehingga diperlukan sebuah kepedulian. Tidak hanya manusia saja yang berhak diperlakukan layaknya manusia, alam pun juga harus diperlakukan seperti diri sendiri.
Teori ini kemudian berkembang lebih luas menjadi teori ekosentrisme. Ekosentrisme sendiri memusatkan pada nilai moral seluruh makhluk hidup dan benda abiotik lainnya yang saling terkait. Oleh karena itu, kepedulian moral tidak hanya ditujukan pada makhluk hidup saja, tetapi untuk benda abiotik yang terkait pula. Dalam hal ini, alam menurut benda hidup dan benda mati memiliki etika yang harus kita perhatikan juga. Sehingga, nilai ekosentrisme pada dasarnya merupakan salah satu pencegahan rusaknya keanekaragaman hayati yang paling tua yang pernah dilakukan manusia. Faham ini sangat berkembang saat kondisi pendidikan yang menekankan rasionalitas manusia belum berkembang di Indonesia. Maka dari itu aplikasi ekosentrisme berkembang pada generasi dahulu sebagai upaya yang dipaksakan untuk melindungi alam, dan saya sangat setuju bahwa pemaksaan terhadap diri kita untuk arif, bijaksana serta ‘sopan’ terhadap alam.
Mungkin dengan memberikan unsur metafisika pada cerita mitos demi tujuan terpenuhinya aspek ekosentrisme hanya akan membakar rasionalitas manusia saja. Akan tetapi, beginilah adanya. Jika kita menuntut bahwa keselarasan dengan alam merupakan prioritas utama ketimbang aspek pengembangan modernitas, kta harus yakin juga untuk melakukannya secara serius. Mitos metafisika merupakan senjata yang paling ampuh untuk meruntuhkan rasionalitas manusia dengan mengurangi daya kritisnya, menjadi faham dan mengikuti hegemoni yang ada. Bayangkan saja, dahulu hegemoni mitos metafisika sangat efektif dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati, maka dari itu sekarang ini perlu mengembalikan hal tersebut.
Mitos metafisika dalam hal ini adalah berupa cerita-cerita yang memang didesas-desuskan agar manusia waspada terhadap alam, karena alam tersebut memiliki semacam ‘penunggu’. Apabila diganggu kelestariannya, akan muncul kutukan yang didapatkan kepada pengganggu alam. Pada dasarnya, memang metafisika adalah sebuah rasionalitas yang terbungkam akibat revolusi ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang hanya olahan hasil penerimaan panca indera yang kemudian digeneralisasikan, seolah-olah manusia menjadi paham kesemuanya bahkan menjadi sombong akan ketahuan tersebut. Inilah gunanya metafisika yang pada dasarnya merupakan wujud moral dari penghargaan kita terhadap suatu hal yang kita ketahui. Dengan metafisika, segala sesuatu akan muncul dengan arif dan bijaksana karena pada dasarnya pengetahuan manusia belum ada apa-apanya.
Terkait untuk teknis implementasi mitos metafisika tentang alam, akan sangat tepat diterapkan bagi orang yang sedang terdidik. Dalam hal ini adalah orang-orang yang sedang berseolah formal, karena mereka sedang digembleng aspek rasionalitasnya. Maka dari itu, ketika mereka disuguhi dan diinternalisasikan aspek metafisika, otak mereka akan cepat menangkap, merespon, dan menyimpannya. Maka dari itu, perlu bagi kita untuk merintis sebuah acara atau kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan aspek-aspek metafisika kepada orang yang sedang meningkatkan aspek rasionalitas.
Acara tersebut antara lain berisi tentang sebuah pameran lokasi-lokasi alam yang memiliki penunggu atau penjaganya. Selain tu, pengenalan makhluk-makhluk gaib yang biasa menempati alam-alam yang masih ‘virgin’. Seperti dipamerkan dalam sebuah galeri mitos metafisika yang dikemas secara menarik demi terciptanya nilai ekosentrisme. Perlunya juga memanggil paranormal untuk seminar metafisika terkait internalisasi nilai-nilai mitos, sekalian kita mengembangkan urban legend masyarakat kita. Cerita rakyat yang secara mistis dipaparkan saat seminar dengan galeri foto, video, dan diorama akan sangat efektif bagi orang-orang yang sudah jenuh dijejeali rasionalitas.
Acara ini sehendaknya dibuat oleh mahasiswa yang peduli akan kelestarian alam. Dengan memanfaatkan mitos mistisme ini, kita bisa merangkul akan kebenaran gaib yang kasat mata bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan pencapaian yang rasional. Goal dalam gagasan ini tentunya adalah tereduksinya perusakan keanekaragaman hayati terutama alam yang masih asli. Acara ini memang menekankan pada sifat takut bagi manusia yang akan berurusan dengan alam, akan tetapi hal ini lah yang bisa dilakukan agar kelakuan manusia bisa teredam dan agar tidak semena-mena terhadap alam.
Kembali lagi pada konsep bahwa pada dasarnya hanya metafisika yang bisa membungkam manusia. Karena pada hakikatnya kekritisan kita pada rasionalitas hanya akan memunculkan pembenaran-pembenaran secara eksistensial. Pembenaran yang ditekankan pada tulisan ringan ini adalah kebenaran akan ekosentrisme. Setinggi-tingginya tingkat intelektual dan nilai manusia, tidak akan ada apa-apanya dibandingkan alam. Itu nilai yang ditekankan dalam tulisan ini. Meskipun dalam narasi-narasi besar yang sudah mendominasi seebagian alam bawah sadar manusia, bahwa manusia adalah pemimpin bumi.
Tulisan ini tidak mengajarkan agar manusia takut akan makhluk gaib yang akan disosialisasikan demi tercapainya aspek ekosentrisme. Akan tetapi, hanya menjelaskan adanya etika lingkungan yang harus diperhatikan ketika kita berurusan dengan hal tersebut. Mitos metafisika bukan untuk ditakuti, akan tetapi dipahami secara nyata sebagai kontrol manusia atas kesombongan rasionalitas yang terlalu dibanggakan, sehingga hanya akan menuai kerugian bagi manusia itu sendiri. Semuanya harus selaras, antara rasionalitas dan metafisika, layaknya keselarasan antara pembangunan modernitas dan ekosentrisme.



Daftar Pustaka

Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung: Penerbit Djambatan
Adian, Donny Gahral. 2012. Senjakala Metafisika Barat. Depok: Penerbit Koekoesan

2 komentar:

  1. dani, gue suka banget bahasan lo. i wish my lecturer was you, not our true lecturer :p hehehe..
    "tidak selamanya yang disebut modernitas dapat memperadabkan"
    pembangunan yang katanya ingin membuat peradaban manusia semakin meningkat, justru membuat kebebasan manusia menjadi semakin sempit, karena alam yang harusnya kita jaga itu kan juga untuk manusia. rusaknya alam akan berdampak buruk juga ke manusia kan shg kualitas hidup manusia juga akan bertambah buruk. jadinya pembangunan bukannya membebaskan (amartya sen), tapi malah jadi membuat manusia tidak leluasa bergerak lagi. rusaknya alam membuat pilihan manusia menjadi semakin sedikit shg standar hidup manusia pun ga terpenuhi.
    eh itu gue fokus ke development nya dan, ga ke masalah rasionalitas dan metafisikanya. hehehe.. penyadaran mitos2 atau bentuk metafisika yang lain bisa jadi jawabannya untuk perusakan atas nama development itu. lu keren!!

    BalasHapus