Paradigma “peraturan diciptakan untuk dilanggar” selalu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena sudah jenuh dengan aturan-aturan, manusia akan sebisa mungkin melanggarnya agar mendapatkan kepuasan emosi. Hal serupa berlaku pada semua elemen masyarakat, tanpa memandang status sosial.
Sifat emosional dalam mendapatkan kebebasan membuat manusia sulit diatur. Kita tahu bahwa “free man” merupakan cikal bakal munculnya istilah “Preman”, yakni manusia yang ingin selalu mendapatkan kebebasan. Dengan kata lain dia akan selalu melanggar hukum.
Bentuk dari pelanggaran hukum tidak semuanya berupa pertentangan yang nyata, akan tetapi dapat juga seperti lobi hukum, penyuapan, pemanipulasian, dan mencari celah yang ambigu dalam hukum untuk tindakan pelanggaran. Bila manusia ingin mempelajari hukum, maka urgensi yang utama berupa mencari celah agar dapat melancarkan aksi penyimpangan, bahkan kejahatan. Ini semua menandakan bahwa hukum diciptakan dengan banyak kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
Kalangan atas sangat memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadinya. Berhubung birokrasi negara ini sudah kacau, semakin mudah saja untuk menjebol aparat-aparat penegak hukum. Di sini, aparat penegak hukum hanya sebagai pajangan dan simbol bahwa hukum itu ‘kaku’. Namun, citra hukum yang tegas itu menjadi luntur lantaran aparat penegak hukum yang rakus dan tidak profesional.
Aparat yang dapat disuap oleh suatu oknum merupakan bukti nyata bahwa kerakusan dan kemiskinan meliputi manusia tersebut. Aparat yang selalu ingin uang lebih akan melakukan segala cara agar menambah penghasilannya. Meskipun tampak dari luar para aparat penegak hukum terlihat eksklusif dan kaya, namun di dalam dirinya terdapat pikiran yang selalu miskin. Sungguh, jiwa miskin yang terbungkus oleh gaya hidup mewah. Ini semua mematahkan sendi-sendi hukum dalam mengatur manusia.
Premanisme dalam hukum terlihat sebagai sisi lain hukum. Semua ini tergantung dari ketegasan aparat penegak hukum. Hukum adalah cerminan dari aparatnya sendiri. Sehingga, baik dan buruknya hukum bersumber pada tingkah laku para penegak hukum. Munculnya istilah ‘birokrasi bobrokisasi’ juga akibat dari kecacatan hukum akibat aparat.
Dunia hitam hukum muncul karena kegagalan konstitusi. Pada awalnya, kita sudah memberi “label” buruk pada aparat hukum. Menurut teori labelling, pemberian julukan dunia hukum sama dengan dunia hitam adalah penyebabnya. Aparat yang jujur dalam konstitusi akan terpengaruh untuk melakukan penyimpangan, akibat dari pemberian julukan. Sampai kapan pun, bila julukan sudah melekat, maka nilai buruk juga akan terus mengalir dalam darah konstitusi.
Bila dilihat kembali, akar permasalahan dari premanisme adalah sikap pola pikir yang merasa miskin. Sepanjang kemiskinan dan kebodohan belum diatasi, premanisme tetap tumbuh subur. Kemiskinan adalah sumber semua persoalan. Kita juga sering terkecoh dengan preman yang menggunakan otot dan kekuatan fisik. Akan tetapi ada preman lagi yang menggunakan otak, yang memiliki daya rusak luar biasa. Jenis preman ini menggunakan cara-cara yang canggih untuk melakukan kejahatan. Preman ini dilindungi oleh hukum, bahkan dapat mengendalikan hukum. Koruptor dan mafia hukum adalah mereka. Preman yang secara terselubung menggerogoti uang rakyat dan membunuh bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar