Senin, 31 Juli 2023

Dilema Vokasional

Saya masih ingat betul banyak sekali momen menarik ketika masih duduk di bangku SMA kelas XII. Mulai dari asmara sampai kegalauan di masa depan. Saat itu, dapat digeneralisir bahwa sebagian besar siswa di kelas XII sedang galau dalam menentukan masa depan mereka. Namun, ada juga yang sudah yakin optimis terhadap apa langkah yang akan mereka tempuh nantinya ketika memasuki fase pasca SMA. Siswa yang berpikiran seperti itu biasanya yang juara kelas, pintar dan kaya.

Ketika memasuki awal tahun 2009 yang saat itu didominasi musim penghujan, banyak sekali kakak senior yang datang ke kelas kami untuk melakukan sosialiasi perguruan tinggi. Baik negeri maupun swasta. Saya sangat senang dengan sesi tersebut tentunya, karena tidak memusingkan dan lebih banyak canda tawa. Pemaparan dari sesi kakak senior tersebut tentu lebih menarik ketimbang materi mata pelajaran—apalagi yang berkaitan dengan ujian nasional, yang tentu sudah membuat jenuh pikiran.

Ada belasan instansi pendidikan yang datang ke kelas kami, di sepanjang satu bulan di awal tahun 2009. Beberapa instansi tersebut memincing riak antusias dari para siswa. Beberapa instansi hanya menimbulkan kesan biasa saja. Beberapa instansi yang cukup popular adalah sekolah kedinasan dan PTN ternama yang berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Semua siswa di kelas kami sangat terlihat antusiasmenya. Meskipun respon terhadap para perwakilan dari instansi pendidikan tersebut berbeda-beda, namun secara general terdapat persamaan dari segi pertanyaan yang lontarkan oleh siswa di kelas kami: “Di jurusan ini prospek kerjanya apa?”

Dari segi struktur tata bahasanya, pertanyaan tersebut mengandung tingkat kepenasaranan yang tinggi, pertanyaan tersebut tentunya sangat berbobot, futuris dan logis. Pertanyaan semacam ini umumnya dijawab dengan lancar dan tanpa terbata-bata oleh para pemateri. Prospek kerja mulai dari ASN, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta multinasional telah membuai para siswa sekelas. Saya rasa kelas lain juga merasakan hal yang sama. Saat sesi tersebut, kami sudah membayangkan nikmatnya bergelimang harta ketika kerja nanti. Bahkan saya ingat, kawan saya sudah membayangkan menjadi pejabat publik dan pimpinan perusahaan. Tak jarang pula yang sudah berandai-andai, saat reuni nanti di depan kelas kami sudah terpampang mobil sport berharga mahal. Sungguh luar biasa impian anak-anak belasan tahun ini.

Kini saya sudah 14 tahun lulus dari SMA. Saat ini, saya sudah empat tahun menjalani karir sebagai pengusaha. Usaha saya di bidang training, lebih khususnya pelatihan untuk persiapan memasuki dunia kerja yang bernama “Swadaya Mengajar”.  Pelatihan ini menyasar kepada para siswa SMA atau SMK dan mahasiswa. Senang sekali rasanya bisa memberikan pelatihan dan berbagi pengalaman kepada adik-adik tersebut. Beberapa kali saya juga menggratiskan pelatihan karena ingin tahu seperti apa ketertarikan generasi sekarang ini terhadap impian dunia kerja.

Awalnya saya mengira, generasi mereka sudah cukup futuris dengan banyak referensi terkini terkait dengan cita-cita di masa depan. Hal ini saya prediksi karena generasi yang bersekolah SMA atau SMK lima tahun terakhir ini sudah mengenal internet dan dapat menggali informasi tanpa batas, sejak kecil. Dibandingkan generasi saya, saya berharap menemukan pandangan yang berbeda di antara para peserta pelatihan ini. Saya sama sekali tidak membuat pakem terkait impian manusia di muka bumi ini, karena hal ini memang bentuk kebebasan manusia. Hanya saja, saya cukup menyayangkan tidak ada yang sejak sekolah bercita-cita menjadi pengusaha. Minimal pedagang atau penjual lah. Atau mungkin definisi tentang pekerjaan pada alam bawah sadar manusia sangat bertolak belakang dengan istilah pengusaha. Saya kemudian terbawa lamunan mesin waktu ketika belasan tahun lalu duduk di bangku SMA seperti adik-adik ini.

Pertanyaan tentang prospek kerja mulai dari ASN, BUMN, BUMD sampai perusahaan swasta multinasional masih menjadi bahan diskursus para siswa sekelas. Di satu sisi, saya sangat apresiatif terhadap upaya mereka dalam mempersiapkan masa depannya. Di satu sisi saya merasa bahwa— secara generaslisasi pengalaman diri saat pelatihan, referensi karir generasi dalam periode lebih dari sepuluh tahun terakhir masih sama. Lalu, saya bertanya-tanya dalam diri, apakah ranah pekerjaan memang akan terus seperti ini di masa depan? Jika memang orientasinya adalah bekerja di sektor formal seperti yang disebutkan tadi, mengapa tidak semua sekolah diseragamkan menjadi sekolah vokasional atau kedinasan saja? Toh, sekolah vokasional atau kedinasan jauh lebih aplikatif dan bisa cenderung langsung bisa mendapatkan pekerjaan.

Tidak hanya itu. Banyak juga setingkat mahasiswa yang masih bertanya, kelak prospek kerja mereka akan seperti apa. Dilema vokasional inilah yang akan terus menghantui para siswa dan mahasiswa sampai kapanpun. Dilema vokasional seakan tidak lekang dimakan zaman, terus ada dan menjadi diskursus kecemasan abadi. Apakah sekolah akan selalu dikaitkan dengan karir? Ataukah kita yang terlalu mengkerdilkan ilmu pengetahuan, sehingga yang dibutuhkan adalah sertifikat pernah “mencicipi” kurikulum di dalamnya. Memang benar, sekolah memang tidak menjamin apapun untuk sukses. Mungkin inilah jalan terbaik yang akan terus dilalui oleh manusia sampai kapanpun. Mereka akan terus mengalami dilema vokasional dengan harapan memperbesar peluang untuk hidup layak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar