Oleh: Tubagus R. Ramadhan*
Kejam? Jahat? Pengkhianat? Beberapa kata yang (mungkin) pernah terlintas di benak kita semua komunisme pernah menjadi sebuah terminologi yang dicinta sekaligus dicerca sedemikian rupa oleh masyarakat dan pemerintah.
Henk Sneevliet adalah orang yang dapat dikatakan berjasa dalam mengenalkan ideologi ini di Indonesia. Sempat populer namanya dalam berbagai literatur sejak Lenin memperkenalkannya setelah kejadian Februari 1917, yang akhirnya dikenal sebagai Revolusi Rusia, terminologi komunisme menjadi begitu populer. Paham komunisme sendiri sebenarnya telah dikenal jauh sebelum daulat seremonial Uni Soviet tersebut pecah. Engels dan Marx pernah beberapa kali menyinggung, dan bahkan merancang sebuah manifesto bertitel komunis, dalam penulisan-penulisan mereka.
Di Indonesia, paham ini dipercaya beberapa sumber dikenalkan oleh sebuah organisasi bertitel Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang disinyalir memupuksuburkan ajaran komunisme di dalam pertemuan-pertemuannya. Meskipun demikian, banyak pula pihak yang yakin bahwa benih-benih ajar komunisme sebenarnya telah eksis sejak maraknya perdagangan buku-buku asing ke Semenanjung Malaka yang merupakan celah ekonomi ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Terlepas dari asal-muasal komunisme yang diidentikkan dengan perjuangan melawan kelas penguasa modal tersebut, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki cerita dan romantisme dengan klausa ideologi komunis. Dalam buku-buku pelajaran yang beradar di sekolah dasar hingga menengah, gelagat komunis dan para tokohnya seringkali disejajarkan dengan sebuah tindakan revolusioner yang memecah belah ketentraman negara. Ada pula sisipan sejarah yang menuliskan, walau sedikit yang rinci dan menjadi referensi masyarakat, bahwa pernah ada ‘hubungan’ mesra antara penguasa pertama negara ini dengan para petinggi ajaran yang dikenal dengan lambang palu arit ini. Bahkan, terdapat sumber tak bertanggungjawab yang mengatakan bahwa bapak pelopor bangsa tersebut juga diinspirasi oleh semangat komunisme ketika ia mematenkan konsep marhaenisme karyanya.
Kebanyakan orang dengan angkuh mengatakan bahwa cita-cita komunisme telah runtuh, baik di dunia internasional ataupun di Indonesia, pasca ‘menyerahnya’ Gorbatchev kepada seterunya waktu itu Amerika Serikat. Kita, masyarakat Indonesia kebanyakan, bahkan mungkin sudah ‘antipati’ kepada paham, bahkan mungkin sekedar kata Komunisme, sejak tahun 1966. Ditambah 32 tahun penuh dengan propaganda anti komunisme dari pemerintah The Smilling General, komunisme dicap sebagai ‘common enemy’ di negara ini.
Satu hal yang perlu kita ingat dan kita teliti, selama 32 tahun itu pula pola pikir kita telah disetir mengenai pemahaman komunisme ini. Selama itu pula kita jarang untuk menelisik bahwa stigmatisasi itu masih ada bagi mereka yang pernah berkaitan dengan konteks komunisme. Lantas, kedigdayaan demokrasi dapatkah dikatakan mentok ketika membicarakan hal yang pernah terjadi sebelum ia muncul dengan hebatnya? Satu hal yang dpat dipastikan, bahwa pemikiran seharusnya tidak boleh dibatasi oleh sebuah entitas yang bahkan dapat dikatakan imaginer community beserta aparat-aparat yang mengatasnamakan kekuasaan imaginer pula.
*Pemimpin Redaksi Buletin Gerbatama Suara Mahasiswa UI dan Mahasiswa Kriminologi, FISIP UI 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar