Sabtu, 13 Februari 2021

Belajar Dari Desa Pancasila

Kemajemukan merupakan identitas asli bangsa Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia dikaruniai dengan beragam suku serta budaya yang berbeda, serta tentunya multi agama yang wajib kita hormati. Kita perlu merefleksikan diri dan merenungi mengapa akhir-akhir ini masyarakat Indonesia saling bergesekan satu sama lain. Terutama saat sebelum dan setelah Pemilihan Umum (Pemilu), yang terlihat telah mereduksi nilai toleransi di antara khalayak. Pemilu 2019 telah usai dan kini saatnya kita merekatkan kembali nilai Bhinneka Tunggal Ika di masyarakat.

Perihal toleransi, kita perlu belajar dan berkaca pada salah satu desa di Indonesia. Dari kampung ini, kita bisa belajar tentang #MeyakiniMenghargai serta indahnya kebersamaan walau berbeda. Desa Balun yang dijuluki sebagai Desa Pancasila yang terletak di Lamongan, Jawa Timur ini adalah potret kerukunan yang seharusnya tampak di tanah air tercinta. Desa yang telah dikukuhkan sebagai destinasi wisata religi oleh pemerintah ini berisi pemeluk dari plural agama yang hidup berdampingan secara guyub. Bila terus dilestarikan, desa ini bisa menjadi gerak hati bagi wilayah-wilayah lainnya di Indonesia seraya semangatnya dapat meluas.

Bayangkan saja, jika setiap kabupaten di Indonesia terdapat potret Desa Pancasila serupa ini. Tentunya hal ini sangat mencerminkan nilai keindonesiaan yang perlu dilestarikan. Tidak hanya hidup bersatu hati, namun pemerintah juga bisa menjadikannya sebagai potensi objek wisata desa berbudaya. Bisa jadi, inilah keunggulan sebenarnya yang dimiliki oleh Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Sehingga kedepannya berpotensi memukau minat wisatawan domestik maupun asing.

Di Desa Balun yang telah menjadi ikon Kota Lamongan tersebut tersohor dengan kegiatan kebudayaannya seperti pawai Ogoh-ogoh yang merupakan magnet besar wisatawan. Kerukunan antar umat beragama dalam satu desa ini potensi besar bagi desa wisata sehingga kedepannya menjadi tonggak kemandirian, kebangkitan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan fakta dan fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa kontrol sosial dalam Desa Pancasila terbilang begitu solid serta masif. Sesuai dengan teori kontrol sosial yang dikemukakan oleh sosiolog Travis Hirschi, bahwa keempat elemen ikatan sosial yaitu keterikatan, komitmen, keterlibatan dan kepercayaan di Desa Pancasila terbukti berjalan optimal. Dapat dilihat dari para anggota masyarakat desa tersebut memiliki keterikatan bersama untuk membangun publik yang rukun dan toleran. Komitmennya kuat karena warganya memiliki tanggung jawab yang teguh terhadap aturan yang telah disepakati bersama. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan kelompok tercermin dari semangat gotong-royongnya di semua dimensi kehidupan. Kepercayaan yang terpatri di masyarakatnya adalah toleransi serta silaturahmi untuk menyatukan distingsi yang ada.

Apresiasi Pemerintah

Spirit dari Desa Pancasila ini juga telah mendapatkan pengayoman dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) karena dinilai dapat mereduksi doktrin terorisme dan radikalisme yang akan masuk ke pedesaan. Kepala BNPT Komjen Boy Rafli mengatakan bahwa paham terorisme dan radikalisme akan dapat tertolak apabila sebuah desa dibangun dengan mengedepankan jiwa Pancasila dan toleransi. Hal ini tercermin nyata dalam Desa Pancasila.

Kini eksistensi Desa Pancasila setiap tahunnya kian bertambah. Pada tahun 2020 silam, BNPT juga turut merancang Desa Pancasila yang berlokasi di Kabupaten Pohuwanto, Gorontalo. Dengan didirikannya Desa Pancasila, harapan kedepannya adalah dapat memerangi dogma terorisme dan radikalisme di Indonesia. Selain itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) sendiri menyebut Desa Pancasila ini sebagai 'Desa Surga' karena penuh dengan semangat kebhinekaan, hidup rukun dan saling hormat-menghormati.

Konsep Ketahanan Sosial

Solidaritas sosial dalam Desa Pancasila erat kaitannya dengan silaturahmi. Silaturahmi sendiri merupakan cara untuk meredam konflik dalam tubuh masyarakat. Kalau menurut Husein Ja’far Al Hadar dalam bukunya yang berjudul “Apalagi Islam Itu Kalau Bukan Cinta?!”—bisa diunduh secara digital di website Convey Indonesia, bahwa silaturahmi adalah jangkar ketahanan sosial yang mampu menahan segala kemungkinan terjadinya problem sosial. Silaturahmi terbukti efektif bisa membuat yang berbeda tetap bersama.

Bila ditelaah dengan kajian kriminologi, Desa Pancasila ini merupakan wujud implementasi nyata dari konsep community (based) crime prevention atau pencegahan kejahatan berbasis komunitas. Artinya, masyarakat ikut serta dan berkohesi guna menciptakan kontrol sosial serta tentunya upaya strategi pencegahan kejahatan di lingkungannya. Nauta (1974), Nixon (1979), serta Zander (1979), yang telah dikemukakan dalam tulisan kriminolog Mohammad Kemal Dermawan (1995), menyebutkan bahwa konsep tentang kohesi (kerekatan) sosial merupakan elemen penting dari kontrol sosial informal. Selanjutnya, Dermawan (1995) juga menyebutkan bahwa pembentukan komunitas merupakan hal yang penting guna membentuk kedekatan fisik dalam menciptakan kontrol sosial informal di lingkungan masyarakat itu sendiri.

Secara definitif, community (based) crime prevention merupakan upaya atau strategi yang bertujuan untuk meredam dan menekan potensi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas masyarakat. Perlu diketahui, untuk memaksimalkan strategi pencegahan kejahatan dibutuhkan keterlibatan dan peran serta aktif dari masyarakat. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan kolektif di dalam masyarakat akan sangat berimplikasi pada usaha pencegahan kejahatan, termasuk di dalamnya menangkal ajaran radikalisme.

Tidak hanya itu, apabila kita lihat dari perspektif pemberantasan korupsi, Desa Pancasila juga merepresentasikan nilai-nilai antikorupsi yang telah digaungkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sebelumnya telah menetapkan sembilan nilai antikorupsi, sedangkan yang paling relevan dengan semangat Desa Pancasila ini adalah pada poin kepedulian dan tanggung jawab. Untuk menciptakan kohesi sosial yang rekat dalam perbedaan, sangat diperlukan sikap kepedulian yang merasuk ke dalam relung jiwa anggotanya. Begitu pula nilai toleransi yang termasuk dalam aspek kepedulian. Dapat dikatakan, Desa Pancasila ini tidak hanya menjadi desa dengan kadar toleransi yang tinggi, namun juga menjadi “Desa Antikorupsi”.

Sekali lagi, kita butuh lebih banyak Desa Pancasila di Indonesia ini. Mungkin nantinya bisa meluas menjadi “Kecamatan Pancasila”, “Kabupaten Pancasila” bahkan “Negara Pancasila” yang seutuhnya. Ini adalah mimpi besar kita semua dari sebuah desa kecil yang tidak hentinya menebar inspirasi toleransi di Indonesia tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar