Latar Belakang
Permasalahan pengangguran
di Indonesia selama lima tahun terakhir ini mengalami ekskalasi yang sangat
tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengangguran
dari tahun 2020 sampai 2021 mengalami kenaikan yang cukup tajam, karena pada
periode tersebut dunia dan Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. Dari
jumlah pengangguran yang semula berjumlah kisaran tujuh jutaan orang di tahun
2018 dan 2019, maka pada saat pandemi Covid-19 di tahun 2020 meningkat tajam
menjadi 9,7 juta orang. Pada tahun 2021, jumlah pengangguran menurun menjadi
9,1 juta orang, namun efek yang diakibatkan oleh adanya pandemi Covid-19 masih
sangat terasa di sektor ketenagakerjaan, karena jumlah penganggurannya belum
kembali seperti sedia kala. Di akhir tahun 2022, pengangguran turun lagi di
angka 8,4 juta orang.
Berbagai upaya telah
pemerintah lakukan untuk memutus mata rantai pengangguran di usia produktif
ini. Pada saat pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan program “Kartu
Prakerja” yang di dalamnya memuat visi peningkatan kapasitas sumber daya
manusia (SDM) yang terkena imbas pemutusan hubungan kerja (PHK) ataupun belum
bekerja. Dapat dikatakan program Kartu Prakerja ini adalah bentuk peningkatan
SDM dengan memanfaatkan teknologi teleconference yang 100 persen virtual,
di mana output yang didapatkan oleh pesertanya adalah ilmu yang aplikatif
dan kucuran insentif. Bahkan sampai saat ini, program Kartu Prakerja masih
menjadi unggulan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas SDM secara daring.
Dari 8,4 juta
pengangguran di usia produktif yang ada di Indonesia, mereka tersebar di
berbagai wilayah. Dari ibukota sampai daerah, hingga ke pelosok pedesaan. Untuk
pengangguran yang ada di kota besar dan ibukota, tentu mereka memiliki akses
dan instrumen yang lebih besar ke lapangan pekerjaan. Kita tahu bahwa lebih
dari 70 persen, lapangan pekerjaan formal berada di perkotaan. Mereka yang di
perkotaan juga memiliki akses untuk mengenyam pendidikan vokasional variatif yang
bermanfaat untuk memasuki dunia kerja nantinya. Untuk di daerah, mereka pada
umumnya yang bekerja di sektor formal jauh lebih sedikit ketimbang yang berada
di sektor informal.
Beberapa strategi pemerintah
untuk mengurangi jumlah pengangguran adalah dengan melalui dua cara, yaitu event
dan infrastruktur. Untuk event sendiri pemerintah setiap bulannya, di
berbagai daerah menggelar job fair. Umumnya setiap tahunnya,
Kabupaten/Kota menggelar event ini dua sampai tiga kali. Untuk cara
infrastruktur adalah, dengan membangun Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas yang
ditargetkan mencapai 1.000 titik di Indonesia. BLK Komunitas ini sebagian besar
bekerja sama dengan pondok pesantren.
Permasalahan
Pada umumnya, para pengangguran
di daerah hanya dapat mengandalkan sarana pelatihan melalui BLK yang dapat
diakses secara gratis setiap tahunnya. Pelatihan di BLK seperti tata busana,
tata boga, mekanik sampai design grafis pada umumnya mereka pergunakan
untuk bisa meningkatkan skill sehingga dapat membuka usaha sendiri atau
berwirausaha. Namun yang menjadi persoalan adalah terbatasnya jumlah peserta
pelatihan, sehingga tidak dapat mencakup jumlah pengangguran secara maksimal.
Sebagian besar peserta pelatihan yang mengikuti kegiatan di BLK adalah yang
memang sudah mendapatkan informasi tersebut jauh-jauh hari.
Sedangkan di luar BLK,
ada badan swasta yang bernama Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Jumlah LPK di
daerah terbilang cukup banyak. Bahkan hampir di setiap kecamatan di Pulau Jawa,
terdapat LPK yang menyediakan pelatihan vokasional untuk keperluan pasar dalam
negeri, hingga ke luar negeri. LPK merupakan instrumen pelatihan vokasional
yang sangat berjasa untuk mengantarkan pencari kerja ke penyedia lapangan
kerja. Lembaga ini sungguh efektif dalam mengurangi jumlah pengangguran di
Indonesia.
Namun, ada persoalan
yakni terkait dengan kerja sama di antara kedua lembaga ini, antara BLK dan LPK
di daerah. Seharusnya mereka dapat bekerja sama dalam menyusun kurikulum ketenagakerjaan
dan pelatihan bersama, beserta target penurunan jumlah pengangguran. Misalnya
saja, setiap tahun Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) mengumpulkan semua pihak LPK
dan BLK untuk meeting bersama. Mereka bersama-sama membuat kurikulum
untuk mengurangi angka pengangguran di suatu kabupaten. Dengan analisa seperti
menghitung jumlah perusahaan yang ada di kabupaten tersebut, maka berapa jumlah
pabrik dan UMKM yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Dari data tersebut, dapat
dibuat kolaborasi dan kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah
pihak.
Dari BLK, mereka akan
mendapatkan referensi kurikulum yang lebih up to date dan mengikuti
kondisi pasar tenaga kerja saat ini. Sedangkan dari LPK, mereka akan
mendapatkan akses ke berbagai perusahaan dan pencari kerja yang potensial untuk
dikembangkan SDMnya. Seperti diketahui, untuk menyelesaikan masalah
pengangguran dan mewujudkan target SDGs 2030, diperlukan kolaborasi dari semua stakeholder.
Jadi tujuan dari kolaborasi BLK dan LPK ini adalah guna mewujudkan target SDGs
yang pertama yaitu “Tanpa Kemiskinan: Mengakhiri Kemiskinan Dalam Segala
Bentuk di Manapun”.
Saran dan Kesimpulan
Ide “Urgensi Kurikulum
Kolaboratif LPK dan BLK di Daerah” ini saya dapatkan ketika LPK saya yang
bernama “Swadaya Mengajar” terpilih untuk mengikuti "Bimtek
Auditor dan Platform Pengukuran Peningkatan Produktivitas" yang
diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementerian Tenaga Kerja
(Kemnaker) pada tahun 2022. Saat pelatihan tersebut, saya berdiskusi dengan
Direktur Bina Produktivitas Kemnaker RI, Ghazmahadi dan Tenaga Ahli Utama KSP,
Fadjar Dwi Wisnuwardhani. Visinya adalah, bagaimana mengurangi pengangguran di
daerah dan meningkatkan produktivitasnya. Saran yang bisa dilakukan dalam waktu
dekat ini adalah membuat para stakeholder di ranah ketenagakerjaan
saling berkolaborasi untuk menentukan kurikulum bersama dan target bersama
dalam mengurangi angka pengangguran. Muaranya adalah, program ini akan
menginisiasi cikal bakal “Lembaga Produktivitas Daerah” yang saat ini
masih dalam tahapan perencanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar