Buku semi antologi yang berjudul "Industrialisasi Kehidupan" merupakan kumpulan tulisan penulis yang dibuat antara tahun 2010-2011. Penulis memutuskan untuk membukukan tulisan yang telah dibuatnya selama satu tahun tersebut ke dalam sebuah buku. Tulisan yang dibuat penulis merupakan opini-opini terhadap kasus-kasus yang terjadi pada tahun tersebut. Meskipun kasusnya spesifik, dapat digunakan sebagai referensi dalam menganalisa kasus yang bersifat umum.
Hal-hal yang dianalisa antara lain kasus masyarakat terkini (pada waktu itu) dan pendapat pribadi tentang pemuda beserta alam pikirannya. Terdapat juga penegasan terhadap suatu opini, namun analisanya berbeda. Sehingga buku ini memiliki berbagai perspektif yang beragam dalam tata cara berpikir. Tidak hanya mengkritik dan memberikan solusi, namun juga dapat menambah cara berpikir dengan konsep.
Sebagian besar tulisan dalam buku ini sebelumnya telah dipublikasikan di media cetak surat kabar Seputar Indonesia dan Website Okezone.com. Penjelasan yang sederhana dan praktis tersebut sangat cocok sebagai bahan bacaan ringan yang dapat memperkaya wawasan. Selanjutnya, buku ini pastinya akan menginspirasi para mahasiswa Indonesia untuk terus menuangkan pikirannya yang penuh dengan imajinasi dan kreatifitas melewati tulisan.
Kembali, buku ini berisi tentang analisa dan argumentasi mengenai isu-isu sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Bagi yang ingin menambah referensi, buku ini dapat membantu memperkaya wawasan dengan esai-esai ringan. Dapat dikatakan, keberagaman pemikiran dalam buku ini mengingatkan kita pada Madilog versi miniatur.
Sabtu, 26 Mei 2012
Minggu, 13 Mei 2012
Komentar untuk Manifesto Irasionalis
"Irasionalitas, umumnya kita posisikan secara kontradiktoris terhadap rasionalitas. Dan irasionalitas dalam buku ini dipahamkan sebagai kondisi ketika rasionalitas mencapai batas-batasnya tanpa bisa melangkah lebih jauh lagi. Dengan kata lain, sebenarnyalah irasionalitas merupakan ekstensi gradual dari rasionalitas. Dan eksplorasi atas batas-batas ini telah acap dilakukan oleh para filsuf dan pemikir selebihnya di abad-abad kemarin. Di tangan Immanuel Kant penjelajahan ini mewujud sebagai filsafat transendental, di tangan Albert Camus penjelajahan yang sama mewujud sebagai absurdisme. Dan melalui buah pikir Hardiat Dani, ia mengambil wujud yang lebih bersahaja; dalam sebentuk keprihatinan dan penyangkalan malu-malu atas kenalaran rasio. Hasilnya, kumpulan serpihan tulisan pendek yang diikat secara paksa dengan sepenggal frasa: Manifesto Irasionalis."
Muhammad Damm
Penulis buku “KEMATIAN: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan”
Alumnus Filsafat UI
Muhammad Damm
Penulis buku “KEMATIAN: Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan”
Alumnus Filsafat UI
Senin, 07 Mei 2012
Analisa Solutif Kemiskinan dalam Perspektif Gender
Oleh Marcha Zoraya Adista Bakti, 1006708081
Kriminologi (2010)
Hampir di seluruh dunia, kemiskinan menghiasi wajah perempuan. Setiap hari perempuan harus berjuang dengan salah satu masalah dan hambatan terbesar yang dimiliki manusia sebagai individu yang otonom yaitu kemiskinan. Adanya konstruksi budaya yang menomorduakan perempuan membuat mereka seringkali dipandang sebelah mata dalam masyarakat sosial. Hal ini membuat akses terhadap pendidikan, ekonomi serta fasilitas sosial sulit menjadi sulit bagi perempuan. Terbatasnya akses-akses tersebut membuat perempuan sulit keluar dari garis kemiskinan dan mejadi pihak yang paling menderita.
Kemiskinan sendiri didefinisikan oleh Bappenas pada tahun 2004 sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa 70% dari 1,3 miliar orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrim adalah perempuan. Perempuan ini tetap terkunci dalam kemiskinan, sering kehilangan perlindungan rumah dan suami serta kerap kali mengalami penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa bahkan mutilasi.
Di Indonesia sendiri, kemiskinan juga masih menjadi masalah yang belum dapat terselesaikan dan menyengsarakan warganya terutama perempuan. kemiskinan inilah yang menghambat tercapainya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. menurut UNDP, terdapat 3 indikator kesejahteraan yaitu (1) manusia, panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup), (2) pendidikan (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi) dan (3) memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli atau PPP, penghasilan).
Apabila realitas sosial perempuan dikaitkan dengan indikator kesejahteraan tersebut, kita dapat melihat Angka Kematian Ibu (AKI) yang masih tinggi. AKI merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Dilihat berdasarkan propinsi di Indonesia, jumlah kematian ibu diperkirakan mencapai 11.534 di tahun 2010. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007 memperlihatkan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sedang angka kematian bayi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup.
Kondisi pendidikan perempuan Indonesia pun lebih rendah dibanding mayoritas Negara anggota ASEAN lainnya. Data dari BPS tahun 2009 menunjukan bahwa 75.69% perempuan usia 15 tahun keatas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah, dimana mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni 30.70%. Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18.59%), Diploma (2.74%) dan Universitas (3.02%).
Selain itu, jumlah perempuan Indonesia yang sudah melek huruf masih rendah. Hal itu terbukti dari masih tingginya jumlah perempuan yang buta aksara di berbagai kalangan. Jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,5 juta orang, sisanya laki-laki atau 3,5 juta orang. Dari data yang dihimpun Kemendiknas angka buta aksara per Desember 2009, sebesar 8,2 juta orang. Diantaranya sekitar 64 % atau sekitar 6,5 juta adalah perempuan dan sisanya sisanya laki-laki atau 3,5 juta orang. Hal ini menunjukan bahwa jumlah buta huruf perempuan di Indonesia 2 kali lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.
Berdasarkan data BPS tahun 2009, hanya 47,2 persen dari total 84,62 juta jumlah usia produktif wanita Indonesia yang bekerja. Sementara mengacu pada data BPS pada 2009, secara keseluruhan upah rata-rata yang didapatkan wanita 25 persen lebih rendah dibandingkan dengan upah rata-rata pria.
Dari data ini kita melihat bahwa tingkat pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup perempuan di Indonesia masih sangat rendah. Selain itu perempuan masih banyak mendapatkan upah diskriminatif dimana perempuan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini membuat tingkat kemiskinan di kalangan perempuan sangat tinggi dan perempuan memiliki proporsi besar dari penduduk miskin. Sebenarnya perempuan merupakan pihak yang sangat rentan, paling menderita dan merupakan korban tersembunyi (hidden victim) dalam kemiskinan.
Perempuan menjadi pihak yang sangat menderita dalam kemiskinan karena mereka seringkali mengalami viktimisasi berlapis dimana perempuan mendapatkan viktimisasi atas peran gender dan status sosial yang dimilikinya. perempuan dalam hal ini adala kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi . Dengan peran ganda yang dimilikinya, perempuan dengan upah, pekerjaan, kerentanan terhadap kekerasan dan perlakuan yang diskriminatif serta tanggung jawab yang besar terhadap keluarga memberikan beban tambahan bagi perempuan yang berada dalam kemiskinan.
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol. Oleh karena itu menurutnya, sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terkebelakang tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi mereka pun kurang diberi tempat.
Salah satu upaya dunia untuk mengentaskan kemiskinan dan kelaparan adalah dikeluarkanya Milleneum Development Goals (MDG’s) melalui PBB. Milleneum Development Goals atau sasaran pembangunan milenium merupakan program yang berkomitmen untuk mewujudkan 8 tujuan pembangunan yang salah satunya adalah mengurangi kemiskinan guna mencapai pembangunan manusia yang sejahtera dan bermartabat. Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia berkomitmen untu mewujudkan 8 sasaran dari pembangunan milenium dan turut serta dalam upaya pengentasan kemiskinan serta kelaparan guna mensejahterakan masyarakatnya.
Di Indonesia upaya pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah melalui berbagai program baik melalui pendekatan top down maupun buttom up. Program tersebut antara lain Usaha ekonomi desa (UED), jaring pengaman sosial (JPS), kredit usaha keluarga sejahtera (KUKESRA), P2WKSS, bantuan langsung tunai (BLT), community based development (CBD) dan lain-lain. Namun demikian sampai saat ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia secara umum cukup banyak dan bahkan program yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan kelaparan belum terlalu sensitif gender karena tidak ditujukan pada perempuan.
Apabila perempuan tidak dijadikan target sasaran pengentasan kemiskinan dan analisis gender tidak digunakan untuk melihat akar penyebab kemiskinan, maka program-program pengentasan kemiskinan tidak akan bisa menjangkau kebanyakan perempuan yang memiliki keterbatasan akses terhadap ruang publik. Padahal dalam konteks kemiskinan, perempuan secara nyata menjadi kelompok yang paling rentan, menderita dan menjadi korban. Oleh karena itu sangat diperlukan kebijakan yang berperspektif gender dalam upaya pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan dari Millenium Development Goals (MDG’s).
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan betapa pentingnya perspektif dan analisis gender digunakan dalam penyusunan program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengintegrasikan perspektif gender dalam strategi, program, aksi intervensi, pemantauan dan evaluasinya serta harus melibatkan kaum perempuan yang selama ini sering mengalami kemiskinan. Dengan ini diharapkan kemiskinan berbasis gender dan kemiskinan pada umumnya dapat teratasi dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia khusunya perempuan.
Daftar Pustaka
1. Agustini, E. Pakasi., dkk. (2006). Potret Kemiskinan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute.
2. Institute for the Prevention of Crime. (2008). Homelessness, Victimization and Crime: Knowledge and Actionable Recommendations. Faculty of Social Science University of Ottawa: Canada.
3. Jackson, Cecile. (1998). Women and Poverty or Gender and Well Being. Journal of International Affairs Vol. 52 No. 1 page 67
4. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4044&Itemid=29 diunduh pada 15 April 2012 pukul 09:15.
5. http://www.womenforwomen.org/news-women-for women/assets/files/MDG_Briefing.pdf diunduh pada 14 April 2012 pukul 19:06.
6. http://www.undp.or.id/archives/pressrelease/Indikator%20Indonesia
%20ID.pdf diunduh pada 14 April 2012 pukul 18:22.
7. http://www.bkkbn.go.id/berita/Pages/Kematian-Ibu-Melahirkan-di-Indonesia-Masih-Tinggi.aspx diunduh pada 15 April 2012 pukul 10:42.
8. http://www.bappenas.go.id/blog/?p=297 diunduh pada 15 April 2012 pukul 10:50.
9. http://www.sampoernafoundation.org/in/what-we-do/858.html diunduh pada 14 April 2012 pukul 21:10.
10. http://www.republika.co.id/berita/shortlink/104984 diunduh pada 18 April 2012 Pukul 23:08.
11. http://lifestyle.okezone.com/read/2011/06/14/196/468378/miris-upah-wanita-25-persen-lebih-rendah-dari-pria diunduh pada 21 April 2012 pukul 14:17.
12. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi%20kemiskinan%20%20dalam%20%20kultur%20patriarki.pdf diunduh pada 21 April 2012 pukul 22:35.
Sabtu, 05 Mei 2012
Kemiskinan dan Bunuh Diri : Realita Kehidupan Masyarakat Dunia Ketiga
Kemiskinan dan Kejahatan
Fenomena kemiskinan pada masyarakat Indonesia merupakan salah satu agenda pemerintah yang harus direalisasikan agar tingkat kesejahteraan penduduk dapat meningkat. Kesejahteraan dalam hal ini merupakan suatu indikator puncak dalam MDG’s yang tidak hanya Indonesia yang mencanangkannya, akan tetapi pihak internasional juga berusaha merealisasikannya. Dengan tercapainya tujuan MDG’s yang terkait pada pengentasan kemiskinan tersebut, diharapkan akan sangat berpengaruh pada kondisi sosial dalam masyarakat yang lebih terarur dan beretika.
Terkait dengan bentuk penyimpangan, kemiskinan menyebabkan berbagai sub masalah dalam masyarakat. Beberapa masalahnya antara lain munculnya pelanggar-pelanggar aturan, kejahatan jalanan, penimbulan rasa takut dan berbagai jenis kejahatan lainnya. Kejahatan pada hal ini muncul karena rasionalitas pelaku kejahatan yang dalam tindakannya berorientas kepada materi dan harta benda. Kejahatan harta benda ini memungkinkan tujuannya adalah mendapatkan harta dan materi yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Kesulitan mencukupi kebutuhan hidupnya tersebut akan menyebabkan pelaku kejahatan berpikir rasional dalam tindakannya. Setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan juga menyebabkan pengangguran yang dampaknya bisa beruntun kepada gejala sosial lainnya. Akibat pengangguran, berbagai kejahatan yang teroganisir yang memiliki wilayah cakupan luas menjadi muncul. Maka dari itu, anggaran untuk mencegah pengangguran akan sangat efektif apabila diberikan berbagai subsidi dalam pembuatan lapangan pekerjaan.
Selanjutnya, bagi pemerintah perlunya upaya dalam menyusun anggaran yang terkait dengan subsidi pencegahan kejahatan. Subsidi ini lebih menekankan pada pengurangan pengangguran dengan upaya memberikan subsidi bagi masyarakat yang bersedia membuka lapoangan pekerjaan sendiri. Apapun yang dapat dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya depresi sosial dan kejahatan dengan media pembukaan lapangan pekerjaan dalam masyarakat.
Pada dasarnya, subsidi yang dianggarkan oleh pemerintah haruslah bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Salah satu indikator berhasilnya subsidi tersebut adalah menipisnya angka kemiskinan di Indonesia. Subsidi harus ditekankan pada sektor pengembangan lapangan pekerjaan. Sesuai dengan data statistik, pengangguran pada awal tahun 2011 berkisar 9,25 juta penduduk dan diprediksi pada akhir 2012, pengangguran masih dalam angka 8,12 juta penduduk. Hal inilah yang mengakibatkan pengangguran terus meningkat di tiap tahunnya. Pengangguran akan memparlihatkan kecenderungan dalam peningkatan kemiskinan.
Selain itu pemerataan basis ekonomi di tiap daerah haruslah dibentuk. Hal ini dilakukan untuk menekan arus urbanisasi yang mengakibatkan fenomena slum area di perkotaan menjamur. Slum area ini nantinya secara kriminologis akan menciptakan suatu hot spot yang berpotensi kejahatan. Menurut Burgess, daerah tempat orang berkumpul pada perekonomian bawah akan meningkatkan resiko kejahatan konvensional dan kejahatan harta benda. Dengan demikian, fenomena kejahatan di tempat umum menimbulkan masalah baru, yang menjadi momok tersendiri bagi kehidupan di perkotaan.
Kejahatan yang dipengaruhi oleh kemiskinan ini juga sama dipaparkan oleh W.A Bonger, akan mengakibatkan orang miskin melakukan apa saja demi mendapatkan uang. Yang paling berbahaya adalah human trafficking terjadi pada perempuan dan anak-anak. Fenomena human trafficking sebagian besar diakibatkan oleh kemiskinan akut yang berujung pada ‘perbudakan’ jenis baru dalam masyarakat modern. Kejahatan tersebut sangatlah menyangkut dengan kesehatan korbannya akibat kurangnya pengawasan pemerintah, sehingga jual-beli manusia pun terjadi.
Kejahatan karena kemiskinan juga disebabkan oleh kejahatan para penguasa. Subsidi yang dikorupsi oleh kalangan birokrat sangatlah berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat. Selain itu perdagangan yang tidak adil, akibat kejahatan oleh para korporat yang merugikan konsumen dan lawan bisnis menjadikan kondisi perekonomian yang tidak sehat. Iklim usaha menjadi tidak menentu dikarenakan persekongkolan korporat dan birokrat yang bermain hukum demi kepentingannya.
Dampak kemiskinan terhadap kehidupan sosial sangatlah besar. Mempelajari fenomena kemiskinan atau belajar ‘filsafat’ kemiskinan akan membuat kita berpikir dan menemukan fakta bahwa seharusnya lapangan kerja dalam agenda pemerintahan menjadi hal yang utama. Masyarakat tidak memiliki bekal pendidikan untuk berwirausaha dikarenakan subsidi untuk sektor ini sangatlah minim. Hal ini dikarenakan sektor pendidikan juga telah dikapitalisasi, sehingga dalam pencerdasan bangsa yang juga menjadi kunci meminimalisir kemiskinan menjadi sulit terealisasi.
Implikasi terhadap Bunuh Diri
Ada pendapat bahwa kaum miskin menciptakan pola-pola perilaku dan keyakinan yang khas, terutama menerima fatalistik karena menjadi miskin serta ketidakmampuan untuk melakukan apa pun agar keluar dari kemiskinan. Kondisi ini menjadi penghambat dan menjamin bahwa yang miskin tetap miskin. Hal ini juga direproduksi dari generasi ke generasi dalam siklus ketidakberdayaan di mana anak-anak dari keluarga miskin diisolasikan orang tua mereka ke dalam budaya itu dan tumbuh miskin juga.
Teori sosiologi utama menurunkan gagasan dari teori Emile Durkheim bahwa tingkat bunuh diri dan beragam konteks sosial itu berkaitan. Bunuh diri terutama berkaitan dengan tingkat integrasi sosial sehingga disintegrasi yang semakin besar akan meningkatkan jumlah bunuh diri. Menurut Emile Durkheim, terdapat 4 jenis bunuh diri berdasarkan pada buku Suicide. Pembagian jenis bunuh diri ini berdasarkan pada tinggi-rendahnya tingkat integrasi dan tinggi-rendahnya tingkat regulasi.
Berdasarkan analisa Durkheim, yang paling mendekati kebenaran statistik dalam penelitiannya mengenai bunuh diri berhubungan pada kemiskinan yang sistemik adalah berupa lemahnya integrasi dengan masyarakat. Egoistic suicide adalah jenis bunuh diri yang disebabkan oleh rendahnya integrasi dengan masyarakat. Individu atau kelompok yang bunuh diri pada tipe ini cenderung memiliki karakteristik sudah jenuh atau sudah bosan dengan kehidupan dengan masyarakat yang tidak memperdulikannya atau membantunya. Sangat terlihat pada kemiskinan yang terjadi di Dunia Ketiga seperti Indonesia dengan ciri khas keberadaan kaum miskin dalam masyarakat maju.
Awalnya merupakan pemikiran O. Lewis (1961) untuk menjabarkan penghuni kawasan kumuh di Dunia Ketiga, kedua istilah itu juga digunakan untuk menggambarkan kaum miskin dalam masyarakat maju. Implikasi peyoratif dari dari konsep ini, bahwa masyarakat miskin dipersalahkan atas nasib mereka sendiri dan bahwa orang tua membesarkan anak-anak agar pada gilirannya pun melarat secara sosial, telah diperdebatkan. Kritik tertuju pada hal-hal berikut: kegagalan masyarakat, terutama pemerintah, untuk menyediakan sumber daya untuk kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan; strategi aktif berupa saling membantu dan kemandirian yang dikembangkan oleh kaum miskin untuk mengatasi kemiskinan. Keberadaan perangkap kemiskinan yang memersulit kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan.
Kasus bunuh diri yang sebagian besar terjadi adalah desakan ekonomi, sehingga menyebabkan frustasi pada diri sendiri yang berujung pada mengakhiri masalah. Hal ini dibuktikan menurut data bunuh diri bahwa posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China mencapai 250.000 per tahun. Menurut laporan dari Jakarta, menyebutkan bahwa sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar kasusnya adalah akibat kemiskinan dan setelah kehilangan pekerjaan.
Daftar Pustaka
Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi. Bekasi : Sari Ilmu Pratama.
Mustofa, Muhammad. 2010. Kleptokrasi. Jakarta : Kencana.
Yesmil Anwar & Adang. 2010. Kriminologi. Bandung : PT Refika Aditama.
Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Abercrombie, Nicholas & Turner, Bryan. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Penerbit FE UI
Durkheim, Emile. 2006. On Suicide. London : Penguin Group
Weber, Max. 2002. The Protestant Ethic and the “Spirit” of Capitalism. London : Penguin Group
Nurkhoiron, M. 2010. Bencana Industri : Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil. Depok : Desantara Faoundation
Sumber Internet
http://p3b.bappenas.go.id/Loknas_Wonosobo/content/docs/materi/3-Bappeda%20Jateng%20-%20Makalah%20MDG's.pdf diakses tanggal 28 April 2012, pukul 9:28 WIB
http://nasional.vivanews.com/news/read/110420-kasus_bunuh_diri_di_indonesia diakses pada tanggal 28 April 2012, pukul 9:13 WIB
www.bappenas.go.id
Fenomena kemiskinan pada masyarakat Indonesia merupakan salah satu agenda pemerintah yang harus direalisasikan agar tingkat kesejahteraan penduduk dapat meningkat. Kesejahteraan dalam hal ini merupakan suatu indikator puncak dalam MDG’s yang tidak hanya Indonesia yang mencanangkannya, akan tetapi pihak internasional juga berusaha merealisasikannya. Dengan tercapainya tujuan MDG’s yang terkait pada pengentasan kemiskinan tersebut, diharapkan akan sangat berpengaruh pada kondisi sosial dalam masyarakat yang lebih terarur dan beretika.
Terkait dengan bentuk penyimpangan, kemiskinan menyebabkan berbagai sub masalah dalam masyarakat. Beberapa masalahnya antara lain munculnya pelanggar-pelanggar aturan, kejahatan jalanan, penimbulan rasa takut dan berbagai jenis kejahatan lainnya. Kejahatan pada hal ini muncul karena rasionalitas pelaku kejahatan yang dalam tindakannya berorientas kepada materi dan harta benda. Kejahatan harta benda ini memungkinkan tujuannya adalah mendapatkan harta dan materi yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Kesulitan mencukupi kebutuhan hidupnya tersebut akan menyebabkan pelaku kejahatan berpikir rasional dalam tindakannya. Setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan juga menyebabkan pengangguran yang dampaknya bisa beruntun kepada gejala sosial lainnya. Akibat pengangguran, berbagai kejahatan yang teroganisir yang memiliki wilayah cakupan luas menjadi muncul. Maka dari itu, anggaran untuk mencegah pengangguran akan sangat efektif apabila diberikan berbagai subsidi dalam pembuatan lapangan pekerjaan.
Selanjutnya, bagi pemerintah perlunya upaya dalam menyusun anggaran yang terkait dengan subsidi pencegahan kejahatan. Subsidi ini lebih menekankan pada pengurangan pengangguran dengan upaya memberikan subsidi bagi masyarakat yang bersedia membuka lapoangan pekerjaan sendiri. Apapun yang dapat dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya depresi sosial dan kejahatan dengan media pembukaan lapangan pekerjaan dalam masyarakat.
Pada dasarnya, subsidi yang dianggarkan oleh pemerintah haruslah bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Salah satu indikator berhasilnya subsidi tersebut adalah menipisnya angka kemiskinan di Indonesia. Subsidi harus ditekankan pada sektor pengembangan lapangan pekerjaan. Sesuai dengan data statistik, pengangguran pada awal tahun 2011 berkisar 9,25 juta penduduk dan diprediksi pada akhir 2012, pengangguran masih dalam angka 8,12 juta penduduk. Hal inilah yang mengakibatkan pengangguran terus meningkat di tiap tahunnya. Pengangguran akan memparlihatkan kecenderungan dalam peningkatan kemiskinan.
Selain itu pemerataan basis ekonomi di tiap daerah haruslah dibentuk. Hal ini dilakukan untuk menekan arus urbanisasi yang mengakibatkan fenomena slum area di perkotaan menjamur. Slum area ini nantinya secara kriminologis akan menciptakan suatu hot spot yang berpotensi kejahatan. Menurut Burgess, daerah tempat orang berkumpul pada perekonomian bawah akan meningkatkan resiko kejahatan konvensional dan kejahatan harta benda. Dengan demikian, fenomena kejahatan di tempat umum menimbulkan masalah baru, yang menjadi momok tersendiri bagi kehidupan di perkotaan.
Kejahatan yang dipengaruhi oleh kemiskinan ini juga sama dipaparkan oleh W.A Bonger, akan mengakibatkan orang miskin melakukan apa saja demi mendapatkan uang. Yang paling berbahaya adalah human trafficking terjadi pada perempuan dan anak-anak. Fenomena human trafficking sebagian besar diakibatkan oleh kemiskinan akut yang berujung pada ‘perbudakan’ jenis baru dalam masyarakat modern. Kejahatan tersebut sangatlah menyangkut dengan kesehatan korbannya akibat kurangnya pengawasan pemerintah, sehingga jual-beli manusia pun terjadi.
Kejahatan karena kemiskinan juga disebabkan oleh kejahatan para penguasa. Subsidi yang dikorupsi oleh kalangan birokrat sangatlah berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat. Selain itu perdagangan yang tidak adil, akibat kejahatan oleh para korporat yang merugikan konsumen dan lawan bisnis menjadikan kondisi perekonomian yang tidak sehat. Iklim usaha menjadi tidak menentu dikarenakan persekongkolan korporat dan birokrat yang bermain hukum demi kepentingannya.
Dampak kemiskinan terhadap kehidupan sosial sangatlah besar. Mempelajari fenomena kemiskinan atau belajar ‘filsafat’ kemiskinan akan membuat kita berpikir dan menemukan fakta bahwa seharusnya lapangan kerja dalam agenda pemerintahan menjadi hal yang utama. Masyarakat tidak memiliki bekal pendidikan untuk berwirausaha dikarenakan subsidi untuk sektor ini sangatlah minim. Hal ini dikarenakan sektor pendidikan juga telah dikapitalisasi, sehingga dalam pencerdasan bangsa yang juga menjadi kunci meminimalisir kemiskinan menjadi sulit terealisasi.
Implikasi terhadap Bunuh Diri
Ada pendapat bahwa kaum miskin menciptakan pola-pola perilaku dan keyakinan yang khas, terutama menerima fatalistik karena menjadi miskin serta ketidakmampuan untuk melakukan apa pun agar keluar dari kemiskinan. Kondisi ini menjadi penghambat dan menjamin bahwa yang miskin tetap miskin. Hal ini juga direproduksi dari generasi ke generasi dalam siklus ketidakberdayaan di mana anak-anak dari keluarga miskin diisolasikan orang tua mereka ke dalam budaya itu dan tumbuh miskin juga.
Teori sosiologi utama menurunkan gagasan dari teori Emile Durkheim bahwa tingkat bunuh diri dan beragam konteks sosial itu berkaitan. Bunuh diri terutama berkaitan dengan tingkat integrasi sosial sehingga disintegrasi yang semakin besar akan meningkatkan jumlah bunuh diri. Menurut Emile Durkheim, terdapat 4 jenis bunuh diri berdasarkan pada buku Suicide. Pembagian jenis bunuh diri ini berdasarkan pada tinggi-rendahnya tingkat integrasi dan tinggi-rendahnya tingkat regulasi.
Berdasarkan analisa Durkheim, yang paling mendekati kebenaran statistik dalam penelitiannya mengenai bunuh diri berhubungan pada kemiskinan yang sistemik adalah berupa lemahnya integrasi dengan masyarakat. Egoistic suicide adalah jenis bunuh diri yang disebabkan oleh rendahnya integrasi dengan masyarakat. Individu atau kelompok yang bunuh diri pada tipe ini cenderung memiliki karakteristik sudah jenuh atau sudah bosan dengan kehidupan dengan masyarakat yang tidak memperdulikannya atau membantunya. Sangat terlihat pada kemiskinan yang terjadi di Dunia Ketiga seperti Indonesia dengan ciri khas keberadaan kaum miskin dalam masyarakat maju.
Awalnya merupakan pemikiran O. Lewis (1961) untuk menjabarkan penghuni kawasan kumuh di Dunia Ketiga, kedua istilah itu juga digunakan untuk menggambarkan kaum miskin dalam masyarakat maju. Implikasi peyoratif dari dari konsep ini, bahwa masyarakat miskin dipersalahkan atas nasib mereka sendiri dan bahwa orang tua membesarkan anak-anak agar pada gilirannya pun melarat secara sosial, telah diperdebatkan. Kritik tertuju pada hal-hal berikut: kegagalan masyarakat, terutama pemerintah, untuk menyediakan sumber daya untuk kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan; strategi aktif berupa saling membantu dan kemandirian yang dikembangkan oleh kaum miskin untuk mengatasi kemiskinan. Keberadaan perangkap kemiskinan yang memersulit kaum miskin untuk keluar dari kemiskinan.
Kasus bunuh diri yang sebagian besar terjadi adalah desakan ekonomi, sehingga menyebabkan frustasi pada diri sendiri yang berujung pada mengakhiri masalah. Hal ini dibuktikan menurut data bunuh diri bahwa posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang per tahun dan China mencapai 250.000 per tahun. Menurut laporan dari Jakarta, menyebutkan bahwa sekitar 1,2 per 100.000 penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar kasusnya adalah akibat kemiskinan dan setelah kehilangan pekerjaan.
Daftar Pustaka
Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi. Bekasi : Sari Ilmu Pratama.
Mustofa, Muhammad. 2010. Kleptokrasi. Jakarta : Kencana.
Yesmil Anwar & Adang. 2010. Kriminologi. Bandung : PT Refika Aditama.
Suriasumantri, Jujun. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Abercrombie, Nicholas & Turner, Bryan. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Penerbit FE UI
Durkheim, Emile. 2006. On Suicide. London : Penguin Group
Weber, Max. 2002. The Protestant Ethic and the “Spirit” of Capitalism. London : Penguin Group
Nurkhoiron, M. 2010. Bencana Industri : Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil. Depok : Desantara Faoundation
Sumber Internet
http://p3b.bappenas.go.id/Loknas_Wonosobo/content/docs/materi/3-Bappeda%20Jateng%20-%20Makalah%20MDG's.pdf diakses tanggal 28 April 2012, pukul 9:28 WIB
http://nasional.vivanews.com/news/read/110420-kasus_bunuh_diri_di_indonesia diakses pada tanggal 28 April 2012, pukul 9:13 WIB
www.bappenas.go.id
Rabu, 02 Mei 2012
Pengaruh Rekayasa Agenda (agenda setting)
Seperti yang telah diketahui, berita sensasional yang sering diinformasikan kepada masyarakat telah mengundang reaksi berbeda-beda. Seperti kasus politik yang tak kunjung selesai adalah salah satunya. Berita mengenai lamanya penanganan kasus dalam bobroknya dunia politik sangat dipengaruhi oleh intrik ‘hukum rimba’ pemerintahan. Dan media massa menjadi tempat yang paling cocok untuk menghancurkan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap suatu berita. Media massa sangat berpengaruh pada paradigma masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di dalam ranah politik. Seperti kasus Century, Gayus, dan Korupsi lainnya menggambarkan beberapa masalah yang membuat masyarakat mengerutkan kening. Pasalnya, bukan suatu penyelesaian yang kunjung didapatkan, namun kerumitan dalam setiap berita terbaru menjadi suatu hal yang membingungkan. Hal ini menjadikan masyarakat mengecap buruk terhadap kinerja pemerintah dan pihak penegak hukum dalam penanganan kasus politik yang disuguhkan dalam media massa. Media massa sendiri saat ini menjadi ajang politisi dalam menggulingkan lawan politiknya, serta menaikkan rating citra politik yang menjadi pimpinan sebuah media massa. Akibat yang signifikan adalah kualitas dalam pemberitaan kepada masyarakat. Media massa memerankan sebagai media yang senantiasa mangubah emosi, pikiran serta tindakan masyarakat. Jaelaslah, di sini masyarakat menjadi kelinci percobaan dalam hal berita-berita yang hanya berguna bagi oknum tertentu. Untuk saat ini, media massa hanya memberitakan informasi yang menarik, bukan yang penting. Informasi yang dapat menaikkan rating dan laku dipasaran senantiasa akan diutamakan, daripada informasi yang penting di luar lingkup politik busuk. Meskipun pengungkapan politik busuk memang penting, seharusnya porsinya juga perlu dibatasi. Bagian yang memberitakan politik busuk juga harus mengusut tentang suatu prestasi dalam penyelesaian masalah. Namun, saat ini, justru pengusutan yang tak kunjung selesai menjadi berita yang dapat menghilangkan kepercayaan terhadap pemeruintah. Meskipun suatu kasus sulit dalam pemecahannya lantaran banyak mafia yang sulit diberantas, pemberitaan yang bombastis dan berlebih-lebihan harus ditekan secara nyata. Pihak yang bersalah dalam kasus pemberitaan sensasional tidak hanya politisi busuk, namun jurnalisme juga butuh tamparan agar dalam memberikan informasi harus mengikuti kode etik dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Pemberitaan harusnya memeberi nilai edukatif bagi masyarakat, serta dijelaskan juga secara jelas dengan netralitas yang tinggi. Biarlah masyarakat yang menilai secara jelas baik-buruknya informasi. Selanjutnya, tinggal kesiapan dari jurnalis untuk bekerja secara jujur. Kode etik jurnalistik perlu penegakan agar selalu dapat memberitakan informasi yang terpercaya. Dalam analisa sosiologis mengenai media massa yang mengandung kerumitan politik berkepanjangan, dapat dijelaskan melalui konsep agenda setting (rekayasa agenda). Konsep ini digunakan dalam sosiologi media massa yang menjelaskan bahwa televisi, radio, internet, dan pers tidak sekedar melaporkan peristiwa akan tetapi merekayasa agenda. Maksudnya, mereka menyeleksi isu-isu untuk dibahas dengan cara tertentu oleh orang tertentu. Kemudian kerangka penyajiannya juga menyingkirkan isu atau sudut pandang tertentu pula. Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, pihak yang berkuasa dalam media massa juga berkuasa juga atas informasi yang akan disebarluaskan, demi kepentingan pemilik media tersebut. Dari semua itu dapat disimpulkan bahwa media massa sangat bertanggung jawab atas adanya perilaku masyarakat. Masyarakat kita perlu didikan yang tepat agar tidak menumbuhkan stigma dalam politik negara kita. Bila hal ini tidak dapat ditekan, politik yang baik pun akan sulit tercapai. Untuk itu pemberitaan yang bertele-tele yang sangat kental dengan unsur kepentingan politik juga harus ditekan agar masyarakat dapat dengan jelas mencerna suatu informasi.
Langganan:
Postingan (Atom)