Rabu, 18 Desember 2013
Jumat, 01 November 2013
Mukadimah Parsial
(((((bergabunglah dengan kami,
karena cuma kami yang tidak oportunis..mari kita ciptakan masyarakat yang tidak
menjadi budak logika))))). ya gimana yak, cuma pengen bikin paguyuban aja
sih..ga ada alasan tertentu ato pengen bikin sensasi..tenang aja, kami ga
seoportunis itu kok. perang wacana sih boleh-boleh saja, kalo mau diem saja ato
progresif juga ga ada yang ngelarang..untuk kemajuan bangsa? paling juga
oportunis..
Sebagai agen perubahan ato cuma
memberikan sensasi kejut kepada masyarakat, udahlah..ga semuanya yang lo kritik
dan konsepin itu cocok disini. katanya pemikiran dan aksinya sangat canggih dan
kontekstual, tapi saling ngotot-ngototan..ya sama aja pake paradigma purba
dalam adu argumen.. kalo canggih mah menerima apa yang orisinil dan gagasan
baru..bukan dari yang lawas lalu dipaksakan dikontekskan..ga semuanya bisa
disini.
Franz Magnis pernah ambil sari
dari "Law of Three Stages" milik Comte. Apakah kesimpulannya?.
Manusia rasional sepenuhnya adalah manusia ilmiah yang bebas dari mitos, agama,
ataupun metafisika. Hampir seluruh dari kita adalah penganut irasionalitas. Apa
salahnya bergabung dan mengamati dengan tenang?. Kita adalah orang-orang yang
tidak oportunis. Salam irasional!
Kita butuh sesuatu yang orisinal,
bukan adopsi tatatiti dari benua seberang yang dipaksakan
dikontekstualisasikan..keyakinan dalam diri. ketidaksenangan publik tidak perlu
dicari. atensi untuk bergerak kenapa harus dipaksa. semua sudah berjalan
seperti apa adanya. perusaknya adalah kemauan untuk beda. anda semua punya
kepentingan, tak bisa dapatkan semua apa yg anda inginkan. kenapa takut untuk
diam?. ketidaktahuan cuma alasan sombong yang anda keluarkan karena mereka yg
tidak tahu itu beda dari anda. salam irasional!
Pagi rekan sekalian. masih suka
diam dan merenung atau tetap kerja keras mencari status sosial? tidak akan ada
habisnya hehehe. hari ini ada yang mau aksi sama buruh ada yg mau aksi
kesehatan. keinginan begitu banyak tapi semuanya semu kawan. kita selalu
mengejar hal yg didogma oleh orang. padahal itu bukan permintaan kita.
kerumunan fanatik membuat tolol. gagal membentuk gagasan orisinal dari
kompleksnya pemikiran adalah bukti bahwa kita semua cuma pakai kacamata kuda.
orang menolak diam padahal itu adalah awalan. lucu. lucu. lucu.
Selamat pagi salam irasional!
butuh lilin dan kopi lebih banyak untuk renungan panjang malam ini salam
irasional!. kenapa tiap buruh 'ideologis' harus hapal Internationale? lagu itu
enak dan menjual. apakah punk atau rock bentuk perlawanan? omong kosong, itu
semua bentuk adaptasi baru untuk memeroleh keuntungan. kita adalah korban
ekspansi ideologi, materi dan logika...yang tidak tercatat oleh sejarah dan
tidak pernah dikaji hanya akan menjadi bualan. mereka yang tidak pernah
tercatat bagi kalian hanyalah sebuah koloni jamur yang lantas mati tapa
guna...mereka hidup, tanpa keinginan lebih. bungkam segala logika dan
rasionalitas untuk menelisik yang tidak terlihat..pahamilah, keuntungan hanya
menjadi lingkaran benzena saja..
Salam irasional!
Paguyuban Irasional atau Parsial
memang terbentuk pada bulan September 2013 ini karena kesadaran akan pentingnya
gagasan baru yang dituangkan dalam bentuk perkumpulan. Paguyuban ini saat itu
resmi didirakan pada bulan Oktober 2013 oleh pengagasnya adalah Mr. D dan Mr.
T. Secara gagasan dan perkumpulan, kita saling memberikan masukan akan ide dan
konsep perkumpulan tersebut. Kita terbentuk karena kejenuhan terhadap lembaga
yang oportunis yang meneriakkan atas pembebasan namun niatnya bukan itu. Kita hanya
menginginkan manusia yang berkumpul namun tidak memiliki ikatan yang oportunis.
Kita hanya ingin manusia-manusia yang secara sadar ingin berkumpul dan bukan
guna untuk mendapatkan keuntungan belaka. Namun sebisa mungkin, kami akan
fasilitasi seluruh anggota dari Parsial ini dan edukasi melalui Pusat Kajian
Irasional.
Untuk mendaftar keanggotaannya
silakan email ke: parsial2012@gmail.com
atau mention/DM ke akun twitter @PRSIAL
Tinggal masukkan nama anda,
pandangan politik dan hobi anda. Selamat bergabung.
Selasa, 22 Oktober 2013
Pusat Kajian Irasional
Semacam melakukan gerbrakan yang pada dasarnya tidak
mendorong signifikasi jelas. Pastilah itu, karena Puska (Pusat Kajian) ini
dibuat tidak untuk mengembangkan suatu ilmu atau faham tertentu. Hanya saja
ingin memperluas keinginan dan cadangan pengetahuan yang dirasa menarik untuk
digali. Apa saja yang akan dibahas, akan kami fasilitasi demi memuaskan kajian
masing-masing individu. Individu adalah hakiki dan komunal adalah harga mati.
Mengembangkan pemikiran irasionalitas adalah upaya
menguak sisi lain dari diri kita sendiri. Kita tidak menwarkan perspektif yang
canggih dan solutif, namun kita menawarkan suatu gagasan yang secara rasional
tidak penting. Stop, berhentilah berpikir rasional. Ini bukan suatu ancaman
atau sesuatu yang menakutkan, hanya saja alternatif ini akan sayang jika
dilewatkan bagi manusia. Maka dari itu, Puska Irasional ini mencoba memberikan semuanya. Pusat Kajian Irasional ini merupakan bentuk
dari program Paguyuban Irasional yang memfasilitasi segala kegiatan yang akan
dilakukan bagi anggota Paguyuban Irasional.
Senin, 09 September 2013
Paguyuban Irasional (PARSIAL)
Berbagai macam falsafah dalam
hidup ini telah terpatri dalam sebuah gramatical carrier. Berbagai informasi
yang sudah ada sejak jaman dulu, ataupun dari masa depan (jika kita semua
percaya pada kelinieran waktu) mengindikasikan sifatnya untuk terpatrikan dalam
alam bawah sadar manusia. Seakan kita sulit untuk tidak mendapatkan
internalisasi makna dari segala material yang disemiotikakan. Apakah semuanya
harus berjalan seperti itu?. Perlu adanya kroscek untuk melihat fenomena
tersebut. Bahkan saya yang telah diinternalisasikan dari kecil inipun menjadi
salah satu bentuk gramatical carrier dari waktu paralel dan linier bagi
material yang disemiotikakan.
Sudah sewajarnyakah seperti ini.
Bagi kaum radikalis, berbeda dengan kaum non-radikalis. Ada yang tergila-gila
pada suatu tokoh yang tak pernah mati dalam sejarah ingatan manusia. Apakah seperti
itukah hasil yang diinginkan manusia otentik?.
Bahkan pencetus keunikan manusia juga lahir dari pembenaran atas dirinya
yang terpatri oleh gramatical carrier sebelumnya. Sepertinya, kebosanan menjadi
salah satu cara untuk menjadi bosan dan kita menginginkan hiburan. Jika semuanya
berkoar begitu luas, saatnya kita menjadi yang mana seolah-olah tuhan atas diri
kita sendiri meskipun kita masih berkubang dalam pembenaran gramatical carrier
sebelumnya.
Sebuah kubangan informasi dan
penelitian baik jurnal ilmiah maupun jurnal warga yang sangat dibanggakan oleh
fetisis media. Bisakah kita menjadi sekumpulan orang sekarang yang diam dan
hanya mengamati saja. Ini akan sangat menarik, karena meskipun sudah ada yang
mempraktikkan sebelumnya atas nama pembangkangan. Kita melakukan ini hanya
sebuah simbolos dan seremonial tanpa esensi (kalau kata pengetahuan saat ini
yang sangat bisa tergempur oleh kepercayaan manusia setelahnya, sebelumnya,
atau saat ini juga). Berkelimpangan atas nama stabilitas dan demokrasi
informasi, memang kita tidak ditakdirkan untuk berkoloni dengan manusia. Kita menjadi
periset untuk makhluk kita sendiri, layaknya kita meriset degan gaya kaum
evolusionis.
Jadi, tertarikkah anda dengan gerakan yang tidak
bergerak. Dengan keheningan yang tidak hening. Kita memang seharusnya
berkoloni, jika anda menginginkannya. Lalu, kita berdiam diri atas segala
persepsi kita dalam menanggapi sesuau. Bergabunglah dengan kami, (anda dan
segala aspek yang dikatakan manusia sosial) yang menjadi landasan terbentuknya
masyarakat. Biar lebih santai kita sebut sebagai paguyuban, karena lebih tidak
terdidik dan mementingkan pendekatan emosional ketimbang rasional. Mari kita
berkumpul dan diam.
Sabtu, 24 Agustus 2013
Mengukur Kekuatan Opini
Dalam sebuah teks, sedangkal atau
sedalam apa argumentasi kita tergantung dari penafsiran atau kapasitas dari
pembacanya. Bagi pembaca teks yang merasa memiliki kemampuan lebih, akan merasa
teks yang di bawah kemampuan kapasitasnya akan dikatakan sebagai dangkal. Hal yang
sama pula jika si pembaca merasa memiliki kapasitas di bawah penulis. Pada dasarnya,
sedangkal apapun argumentasi kita, itulah yang dinamakan teks.
Kejadian seperti sesat pikir
pastilah ada. Bahkan sebuah teks tidak harus memiliki alur pikir yang jelas. Hal
ini dikarenakan beropini merupakan kegiatan menyampaiakan pendapat kepada
khalayak. Ada yang beranggapan bahwa jika ditujukan oleh publik, kita harus
mengikuti logika nalar publik. Ada juga bahwa bentuk opini hanyalah keluaran
yang bersifat personal dan diungkapkan kepada umum tanpa harapan dari pembuat
opini yang jelas. Opini sebagaian besar adalah sebuah proses penggiringan alur
pikir agar siapapun bisa mengikuti gagasan yang dikehendaki. Hal ini sangat
lekat pada media massa.
Spekulasi akan menyelimuti sebuah
opini. Itu sesuatu yang wajar, karena apa yang diungkapkan dalam opini belum
tentu merupakan buah pikiran yang ingin dikehendaki oleh si pembuat opini. Lalu,
yang akan ditekankan adalah bagaimana sebuah teks, apapun itu, akan memuat
sebuah opini. Tidak peduli tujuan dari penulis untuk apa, melainkan teks itu
sendiri. Teks itu yang akan membicarakan sendiri. Death-of-the-author, sebuah
ide yang dikemukakan oleh kritikus Perancis, Roland Barthes yang mengungkapkan
bahwa sebuah teks mestinya dianggap sebagai hal yang independen dalam dirinya. Pembacaan
atau penerjemahannya merupakan bidang yang penuh permainan tanda. Dengan
demikian informasi dan spekulasi apapun tentang penulis dan niat penulis tidak
lagi relevan bagi siapapun yang membaca teks. Dan, opini memuat dalam kadar
teks. Dan kekuatan opini tergantung dari pembacanya.
Senin, 03 Juni 2013
Senjakala Rasionalitas Santet yang Tergerus Revolusi Ilmu Pengetahuan
Sebuah perjalanan ilmu pengetahuan secara historis telah
mengikis faham metafisika dengan disiplin filsafat yang mengkaji being qua being (yang ada sebagai ada)
atau biasa dikenal sebagai ontologi.
Faham rasionalitas Aristoteles masihlah kabur dalam
menjelaskan keberadaan yang ‘ada’ dengan keberadaan secara ilahiah. Maka dari
itu Kant mengembangkannya bahwa rasionalitas berubah menjadi kemampuan
menangkap atau mengolah kesan-kesan inderawi menjadi suatu pengetahuan. Maka
dari itu, dia mengesampingkan aspek teologi dan kosmologi sebagai bentuk dari
rasionalitas, melainkan sebagai metafisika. Hal inilah yang dikembangkan
filusif selanjutnya yang menekankan pada aspek rasional sebagai titik tumpu
revolusi ilmu pengetahuan modern ini. Sedangkan aspek metafisika seringkali
luput dalam pembahasan, bahkan sampai saat ini pembahasan hhal-hal klenik masih
belum tergali secara rasional.
Dalam hal ini, aspek metafisika yang akan diakngkat adalah
sebuah sihir yang difokuskan dalam santet. Santet sering dibahas dalam kajian
budaya, bahkan saat ini menjadi topik bahasan hukum. Sejarah menunjukkan bahwa
ilmu-ilmu sihir seperti santet telah menjadi cerita-cerita rakyat di Indonesia.
Catatanh sejarah Eropa, Afrika, dan Amerika pun telah tumbuh subur dukun yang
meguasai ilmu voodoo tersebut pada abad pertengahan. Bahkan cerita mitos dan
legenda mengenai sihir menjadi literasi populer pada abad ke 21 ini.
Penelitian terhadap jimat-jimat oleh National Geographic
telah mengindikasikan bahwa penduduk Romawi memiliki kebiasaan membuat orang
dibencinya sekarat dengan menuliskan mantra di lembar timah tipis yang ditusuk
paku. Lalu dilempar ke sumur keramat agar para pemilik kekuatan kosmos seperti
jin, setan, atau dewa dapat membatu mengabulkan permintaannya. Sama dengan
penggunaan jimat di negara Mesir, Yunani, Turki, Arab Kuno, India dan Yahudi
yang menggunakan perhiasan atau kalung berbentuk telapak tangan yang mengarah
kedepan dengan mata ditengahnya.
Hampir semua penduduk dunia mengenal adanya kekuatan
metafisika dan sihir. Sama halnya dengan santet yang ada di Indonesia. Pada
dasarnya dampak dari santet memang bisa dirasakan, hanya saja barang bukti dan
tidak semua prosedurnya dapat diketahui dan dijelaskan secara rasional. Karena
kita hanya memandang asumsi kenyataan berdasarkan panca indera, maka diluar
nalar yang diterima panca indera hal tersebut menjadi tidak berlaku. Padahal
pada kenyataannya memang kepekaan manusia berbeda-beda satu dengan lainnya.
Pada dasarnya, seperti halnya mempelajari hal yang rasional
saja ilmu santet dapat dipelajari. Sesuatu yang dapat dipelajari dan ada
merupakan sesuatu yang rasional, hanya saja perkembangan ilmu pengetahuan hanya
menetapkan suatu pengujian yang universal dan menggeneralisir dalam
standar-standar kebakuan tertentu. Maka dari itu, perkembangan metafisika
dikesampingkan karena dianggap tidak memiliki kaidah-kaidah yang dapat diterima
secara umum. Meskipun, sudah banyak yang telah membuktikan keberadaan dan
kebenaran rasionalitas metafisika seperti fenomena santet. Mungkin saja apabila
hal metafisika seperti santet sudah teruji secara rasional, perkembagan ilmu
tidak akan pakem pada hal rasional saja, akan tetapi akan terus muncul fenomena
metafisika yang selalu mengiringi pemikiran manusia. Karena pada dasarnya
perkembangan peradaban manusia tidak hanya berkaitan dengan perwujudan yang
bisa dijelaskan, akan tetapi banyak juga yang tidak bisa dijelaskan, dan itu
semua tercakup dalam kerangka metafisika.
Suatu saat nanti, pasti ada penjelasan yang rasional yang
masuk dalam tataran ontologis dalam mengungkap fenomena santet ini. Dengan
pembuktian yang lebih ilmiah dan komprehensif yang tidak hanya berlaku pada
tataran sosial dan budaya saja, akan tetapi lebih ke basicnya sebagai ilmu alam
seperti fisika. Seperti halnya Gravitasi, kita tidak bisa memegang atau melihat
bagaimana energi yang berkerjannya, akan tetapi dampaknya memang terlihat.
Sedangkan santet ini padahal bisa dijelaskan secara rasional, karena apa yang
bisa dirasakan manusia dengan panca indera adalah sebuah rasionalitas, hanya
saja kita belum menemukan dimana titik rasional universal yang dapat
menjelaskan fenomenanya.
Sabtu, 18 Mei 2013
Penanaman Nilai Ekosentrisme Melalui Mitos Metafisika Tentang Alam Yang Dikemas Dalam Acara Kampus
Upaya
perlindungan terhadap lingkungan merupakan manifesto kongkrit yang sedang
digalakkan oleh pemerintah, di samping pembangunan infrastruktur yang kian
pesat. Dapat dikatakan bahwa perlindungan alam merupakan kegiatan sampingan
yang hanya menjadi pelengkap dari kegiatan pembangunan infrastruktur. Kita,
selama ini terlalu dalam tataran normatif saja untuk menerapkan konsep
perkembangan peradaban manusia yang selaras dengan alam. Pada kenyataannya,
melihat perkembangan pembangunan infrastruktur bangunan yang begitu pesat,
paradigma yang diimplementasikan ternyata bahwa manusialah yang menaklukkan alam.
Manusia
yang menaklukkan alam maksudnya adalah segala aktivitas manusia dalam
kemampuannya dapat mengendalikan alam. Tidak terkecuali manusia dapat
memanfaatkan sumber alam karena kecerdasannya dalam mengolah sumber alamnya
yang masih baku menjadi produk-produk siap pakai. Padahal, seharusnya manusia
janganlah terlalu memfokuskan pada kesejahteraan manusia saja. Memang, kita
sebagai makhluk sosial dan mempelajari ilmu sosial snagat menuntut hasil yang
dicapai adalah keadilan sosial dan kesejahtaraan sosial. Akan tetapi,
perspektif ini terlalu usang karena hanya sekedar tataran interaksionis saja,
yaitu hubungan antara manusia dengan manusia. Sedangkan hubungan antara manusia
dengan alam seakan luput dalam pembelajaran fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
ini.
Rasionalitas
manusia dalam melihat manusia sebagai aspek utama dalam penelitiannya terlalu
kaku. Meskipun kita berada pada ranah pembelajaran ilmu sosial, seharusnya
pengetahuan akan ilmu alam juga setidaknya kita pelajari juga. Untuk maju
secara otentik kehidupan manusia yang unik ini, kita seharusnya jangan
membatasi ilmu yang kita terima hanya pada tataran sosial saja. Aspek ilmu alam
sehendaknya kita pelajari dengan baik, agar implementasi yang dihasilkan
mahasiswa ilmu sosial juga setidaknya memiliki kekritisan pada tingkatan ilmu
alam, meskipun tidak terlalu mendetail.
Mungkin
kita selama ini berpikir bahwa dengan kekhususan ilmu yang kita dapatkan,
dengan pendalaman yang baik akan membuat kita menjadi profesional dibidang yang
kita geluti. Pada faktanya kita sebagai mahasiswa yang bahkan belum mendapatkan
gelar apapun tidak bisa berkoar pada tataran berbicara ilmiah. Meskipun kita
sangat dituntut untuk berpikir seolah-olah kita adalah ilmuwan sosial dengan
pendekatan penulisan dan sistematika yang kita terima di ruang kelas kuliah,
kita sehendaknya juga melebarkan kreativitas yang hanya memuat gagasan saja.
Biarkan ilmu dan metode ilmiah yang kita pelajari kita gunakan saat bergelut
dengan hal-hal yang berbau akademik seperti tugas kuliah. Di luar itu, kita
bebas memakai keluasan pemikiran kita dalam melihat permasalahan sosial. Dalam hal
inilah imajinasi dan kreativitas mahasiswa perlu dikembangkan. Setidaknya, kita
dapat menempatkan diri kita sesuai dengan forum dan kegiatan yang akan kita
laksanakan.
Kembali
ke permasalahan terancamnya keanekaragaman hayati akibat pembangunan, ada
beberapa aspek penting yang harus dipahami. Pertama, pembangunan infrastruktur
masih dijadikan kegiatan utama sebagai parameter peradaban manusia. Sehingga
hal ini mengakibatkan pelestarian alam menjadi aspek yang dinomorduakan, karena
hanya digunakan sebagai keidealan saja. Kedua, perspektif rasionalitas manusia
yang mengagung-agungkan modernitas dengan berdasarkan pembangunan haruslah
berbentuk hasil fisik dari rancangan karya manusia. Ternyata tidak selamanya
yang disebut modernitas dapat memperadabkan.
Jika
dilakukan secatara terus-menerus sampai pada generasi mendatang, bisa
diprekdisikan bahwa pembangunan infrastruktur secara besar-besaran akan merusak
keanekaragaman hayati. Fakta-fakta mengenai rusaknya keanekaragaman hayati
akibat pembangunan tidak perlu disebutkan lagi pada argumentasi ini. Hal ini
dikarenakan, apalagi dipaparkan secara keseluruhan, atau kita ambil di negara
Indonesia saja akan meuncul berbagai kerusakan dan kepunahannya. Daripada
menjelaskan dan memaparkan akan fakta-fakta, lebih baik kita lebih berfokus
pada gagasan dan solusi alternatif untuk meredam itu semua. Saya menawarkan
beberapa gagasan unik dan praktis yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa
ataupun anak muda dalam memeberikan pengetahuan yang akan cukup mengena di
kepala setiap orang.
Seperti
yang kita ketahui bahwa zaman dahulu ketika generasi ayah-ibu, kakek-nenek, dan
buyut kita memiliki cara pengendalian alam yang cukup efektif. Cara tersebut
adalah dengan sebuah cerita mitos yang memiliki nilai metafisika yang pada
dasarnya memiliki nilai ekosentrisme. Ekosentrisme ini merupakan sebuah teori
tentang etika lingkungan yang bermula dari perkembangan biosentrisme. Faham
biosentrisme ini percaya bahwa seluruh makhluk hidup dan alam memiliki nilai
moral yang tertanam dalam dirinya, sehingga diperlukan sebuah kepedulian. Tidak
hanya manusia saja yang berhak diperlakukan layaknya manusia, alam pun juga
harus diperlakukan seperti diri sendiri.
Teori
ini kemudian berkembang lebih luas menjadi teori ekosentrisme. Ekosentrisme
sendiri memusatkan pada nilai moral seluruh makhluk hidup dan benda abiotik
lainnya yang saling terkait. Oleh karena itu, kepedulian moral tidak hanya
ditujukan pada makhluk hidup saja, tetapi untuk benda abiotik yang terkait
pula. Dalam hal ini, alam menurut benda hidup dan benda mati memiliki etika
yang harus kita perhatikan juga. Sehingga, nilai ekosentrisme pada dasarnya
merupakan salah satu pencegahan rusaknya keanekaragaman hayati yang paling tua
yang pernah dilakukan manusia. Faham ini sangat berkembang saat kondisi
pendidikan yang menekankan rasionalitas manusia belum berkembang di Indonesia.
Maka dari itu aplikasi ekosentrisme berkembang pada generasi dahulu sebagai
upaya yang dipaksakan untuk melindungi alam, dan saya sangat setuju bahwa
pemaksaan terhadap diri kita untuk arif, bijaksana serta ‘sopan’ terhadap alam.
Mungkin
dengan memberikan unsur metafisika pada cerita mitos demi tujuan terpenuhinya
aspek ekosentrisme hanya akan membakar rasionalitas manusia saja. Akan tetapi,
beginilah adanya. Jika kita menuntut bahwa keselarasan dengan alam merupakan
prioritas utama ketimbang aspek pengembangan modernitas, kta harus yakin juga
untuk melakukannya secara serius. Mitos metafisika merupakan senjata yang
paling ampuh untuk meruntuhkan rasionalitas manusia dengan mengurangi daya
kritisnya, menjadi faham dan mengikuti hegemoni yang ada. Bayangkan saja,
dahulu hegemoni mitos metafisika sangat efektif dalam upaya perlindungan
keanekaragaman hayati, maka dari itu sekarang ini perlu mengembalikan hal
tersebut.
Mitos
metafisika dalam hal ini adalah berupa cerita-cerita yang memang
didesas-desuskan agar manusia waspada terhadap alam, karena alam tersebut
memiliki semacam ‘penunggu’. Apabila diganggu kelestariannya, akan muncul
kutukan yang didapatkan kepada pengganggu alam. Pada dasarnya, memang metafisika
adalah sebuah rasionalitas yang terbungkam akibat revolusi ilmu pengetahuan. Pengetahuan
yang hanya olahan hasil penerimaan panca indera yang kemudian
digeneralisasikan, seolah-olah manusia menjadi paham kesemuanya bahkan menjadi
sombong akan ketahuan tersebut. Inilah gunanya metafisika yang pada dasarnya
merupakan wujud moral dari penghargaan kita terhadap suatu hal yang kita
ketahui. Dengan metafisika, segala sesuatu akan muncul dengan arif dan
bijaksana karena pada dasarnya pengetahuan manusia belum ada apa-apanya.
Terkait
untuk teknis implementasi mitos metafisika tentang alam, akan sangat tepat
diterapkan bagi orang yang sedang terdidik. Dalam hal ini adalah orang-orang
yang sedang berseolah formal, karena mereka sedang digembleng aspek rasionalitasnya.
Maka dari itu, ketika mereka disuguhi dan diinternalisasikan aspek metafisika,
otak mereka akan cepat menangkap, merespon, dan menyimpannya. Maka dari itu,
perlu bagi kita untuk merintis sebuah acara atau kegiatan yang bertujuan untuk
mengenalkan aspek-aspek metafisika kepada orang yang sedang meningkatkan aspek
rasionalitas.
Acara
tersebut antara lain berisi tentang sebuah pameran lokasi-lokasi alam yang
memiliki penunggu atau penjaganya. Selain tu, pengenalan makhluk-makhluk gaib
yang biasa menempati alam-alam yang masih ‘virgin’. Seperti dipamerkan dalam
sebuah galeri mitos metafisika yang dikemas secara menarik demi terciptanya
nilai ekosentrisme. Perlunya juga memanggil paranormal untuk seminar metafisika
terkait internalisasi nilai-nilai mitos, sekalian kita mengembangkan urban legend masyarakat kita. Cerita
rakyat yang secara mistis dipaparkan saat seminar dengan galeri foto, video,
dan diorama akan sangat efektif bagi orang-orang yang sudah jenuh dijejeali
rasionalitas.
Acara
ini sehendaknya dibuat oleh mahasiswa yang peduli akan kelestarian alam. Dengan
memanfaatkan mitos mistisme ini, kita bisa merangkul akan kebenaran gaib yang
kasat mata bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan pencapaian yang
rasional. Goal dalam gagasan ini
tentunya adalah tereduksinya perusakan keanekaragaman hayati terutama alam yang
masih asli. Acara ini memang menekankan pada sifat takut bagi manusia yang akan
berurusan dengan alam, akan tetapi hal ini lah yang bisa dilakukan agar
kelakuan manusia bisa teredam dan agar tidak semena-mena terhadap alam.
Kembali
lagi pada konsep bahwa pada dasarnya hanya metafisika yang bisa membungkam
manusia. Karena pada hakikatnya kekritisan kita pada rasionalitas hanya akan
memunculkan pembenaran-pembenaran secara eksistensial. Pembenaran yang
ditekankan pada tulisan ringan ini adalah kebenaran akan ekosentrisme.
Setinggi-tingginya tingkat intelektual dan nilai manusia, tidak akan ada
apa-apanya dibandingkan alam. Itu nilai yang ditekankan dalam tulisan ini.
Meskipun dalam narasi-narasi besar yang sudah mendominasi seebagian alam bawah
sadar manusia, bahwa manusia adalah pemimpin bumi.
Tulisan
ini tidak mengajarkan agar manusia takut akan makhluk gaib yang akan
disosialisasikan demi tercapainya aspek ekosentrisme. Akan tetapi, hanya
menjelaskan adanya etika lingkungan yang harus diperhatikan ketika kita
berurusan dengan hal tersebut. Mitos metafisika bukan untuk ditakuti, akan
tetapi dipahami secara nyata sebagai kontrol manusia atas kesombongan
rasionalitas yang terlalu dibanggakan, sehingga hanya akan menuai kerugian bagi
manusia itu sendiri. Semuanya harus selaras, antara rasionalitas dan
metafisika, layaknya keselarasan antara pembangunan modernitas dan
ekosentrisme.
Daftar Pustaka
Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Soemarwoto, Otto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Bandung: Penerbit Djambatan
Adian, Donny Gahral. 2012. Senjakala Metafisika Barat. Depok:
Penerbit Koekoesan
Senin, 11 Maret 2013
Langganan:
Postingan (Atom)